Sabtu, 23 Januari 2010

Apakah politik itu sama dengan membodohi rakyat ?***

Mengapa hanya Jepang yang dicatat mampu menandingi kelas pencapaian peradaban Barat? Pikir saja apa kira-kira. Apakah betul kita, “orang Asia” ini “tak dapat berpikir”? Wabil khusus kita, apakah bangsa ini, “tak mampu berpikir”? Jelas kita bisa berpikir. Kalau tidak, mana mungkin para pejuang pergerakan nasional kita tempo dulu mampu merekonstruksi jajahan Hindia-Belanda ini dimerdekakan sebagai Indonesia. Pembangunan identitas kebangsaan itu, sesuatu yang luar biasa. Jangan lupa itu. Bolehlah kita catat lagi di sini nasihat Bung Karno agar setelah merdeka nation and character building terus dilanjutkan.

Itu merupakan proses yang abadi, yang harus kita lanjutkan terus-menerus sebagai kaum Nasionalis. Semua kita Nasionalis, mudah-mudahan. Kata-kata Nasionalis, sebaiknya nggak usah dipolitisasi, tak harus diperhadap-hadapkan dengan kelompok agama.misalnya. kita ini kan negara Pancasila. Pancasila itu merupakan suatu konsensus nasional kita, suatu karya agung para pendiri bangsa ini. Bagi sebuah bangsa yang plural ini. Dunia mengakuinya. “Bhinneka Tunggal Ika” itu kan mirip dengan semboyan bangsa Amerika “E Pluribus Unum”. Tapi beda. Kita “berbeda-beda, tetapi tetap satu”, bahwa keberbedaan kita tak usah dipaksa-paksa untuk dihomogenkan. Kalau “E Pluribus Unum” itu harfiah artinya “dari banyak menjadi satu”. Kita pernah punya pengalamanketika Pancasila menjadi sesuatu yang menakutkan, karena seringnya dipakai sebagai “palu Godam kekuasaan”. Zaman Orde Baru itu Maksudnya baik. Tetapi proyek homogenisasi dan penafsiran secara tunggal, telah memunculkan celah yang lebar bagi pelanggengan kekuasaan rezim. Apakah politik itu sama dengan membodohi rakyat ? Bukankah politik itu seharusnya mencerdaskan rakyat?Saya ingat Bung salah satu bait sajaknya Cak Nun tempo dulu, dalam kumpulan puisinya berjudul “Sesobek Buku Harian Indonesia” (1993), bahwa, “Kalau negara mau kuat, maka rakyat harus dilemahkan”.

Rumus baku demikian, tentu sudah tidak lagi berlaku  pada era reformasi ini. Atau, bermutasi ke dalam bentuk lain? Misalnya, “Kalau mau berkuasa dan bertahan di dalam kekuasaan, maka rakyat harus dibodohkan”, begitukah?

Peninabobokan daya kritis rakyat itu, bukankah tak bagus bagi upaya membangun kembali peradaban besar kita? Bukankah membangun peradaban Indonesia mempersyaratkan kecerdasan sumberdaya manusia, yang notabene kecerdasan rakyatnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar