Minggu, 12 Desember 2010

Jangan Lukai Merah Putih

65 Tahun Bendera Merah Putih Berkibar di Bumi Indonesia
65 Tahun Semangat Merah Putih Berkibar di Hati Sanubari Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia telah menoreh Sejarahnya,
Sejarah yang ditopang oleh cita-cita,
Sejarah yang ditopang oleh Komitmen,
Sejarah yang ditopang oleh Pengorbanan,
Sejarah yang ditopang oleh Kesepakatan,
Sejarah yang ditopang oleh Kebersamaan dalam Kebhinekaan,

Maknailah Sejarah Merah Putih dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Amanat HB IX/PA VIII 5 September 1945 dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Keistimewaan Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Dengarkan Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Suarakanlah Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih

Sejarah adalah garis waktu yang hakiki,
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan Perspektif Regulasi
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dilupakan dengan Perspektif Politik
Amanat 5 September 1945 adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Keistimewaan Yogyakarta adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
 

Jangan Lukai Merah Putih...

Sabtu, 11 Desember 2010

Reformasi Birokrasi

Sebagai kawah candradimuka peningkatan SDM aparatur pemerintah, Badan Diklat Provinsi Banten menjadi salah satu lembaga yang diberi tugas untuk melakukan reformasi birokrasi. Tujuan reformasi birokrasi ini tak lain untuk meningkatkan profesionalitas kinerja aparatur.
Reformasi birokrasi juga berguna untuk memberikan birokrasi yang profesional dengan karakteristik yang adaptif, berintregitas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), mampu melayani publik, netral, berdedikasi, serta memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik.
Sasaran reformasi birokrasi ini yakni membangun birokrasi yang berorientasi pada hasil (outcomes) melalui perubahan secara terencana, bertahap dan terintegrasi dari berbagai aspek strategi birokrasi,
Berdasarkan grand design dan road map yang telah dibuat Badan Diklat Banten, reformasi birokrasi dilaksanakan melalui berbagai program yang berorientasi untuk mencapai sasaran dan tujuan. Masing-masing program dilengkapi dengan indikator-indikator kinerja.
Semua indikator kinerja tersebut ditetapkan secara spesifik untuk mengukur pencapaian kinerja berkaitan dengan informasi kinerja (output, outcome, dan impacts). Semua informasi kinerja dimonitor secara periodik, berkelanjutan dan melembaga. Ruang lingkup dan obyek sasaran reformasi birokrasi meliputi seluruh aspek manajemen pemerintahan, mulai organisasi, tata laksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan budaya kerja aparatur (culture set dan mind set).
Langkah-langkah reformasi birokrasi sendiri meliputi empat tahap yakni persiapan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Langkah persiapan di antaranya membangun sistem operasi/pelaksanaan program reformasi birokrasi; melakukan audit/evaluasi terhadap organisasi; menyusun road map; menyusun rencana pengelolaan perubahan, menetapkan, merencanakan, membangun quick win serta melakukan sosialisasi.
Langkah pelaksanaan meliputi pelaksanaan knowledge management; penataan dan penguatan organisasi; tata laksana; manajemen SDM aparatur; perubahan paradigma manajemen, budaya dan nilai-nilai organisasi; peningkatan akuntabilitas serta peningkatan kualitas pelayanan publik.
Untuk langkah monitoring, seharusnya dilakukan secara berkala dan melakukan perubahan sesuai masukan hasil monitoring. Selanjutnya langkah evaluasi yakni melakukan evaluasi berkala setahun sekali, membuat laporan hasil evaluasi dan melakukan perubahan berkelanjutan.)***

Selasa, 30 November 2010

Derita TKI Akan Terus Berulang


Kisah penganiayaan atas tenaga kerja Indonesia, terutama perempuan yang bekerja di luar negeri, bukan lagi hal baru. Hampir setiap tahun, kasus ini selalu terjadi, baik di Malaysia, Singapura, maupun Timur Tengah. Reaksi kepedulian pemerintah hanya sesaat disertai janji pembenahan. Namun, janji ini selalu nihil sebab kisah yang sama terulang kembali. Malah penganiayaan ini semakin menjadi-jadi membuat hati tersayat-sayat pilu.

Berdasarkan data Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang.

Korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, yakni berkisar 48,29 persen-54,10 persen. Mereka menderita beragam masalah, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.

Kini, kasus serupa timbul lagi di Arab Saudi yang menimpa Sumiati (23) asal Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kikim Komalasari asal Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Kikim dianiaya hingga tewas oleh majikannnya, sedangkan Sumiati digunting bibirnya. Suatu tindakan yang tidak bisa ditoleransi apa pun alasannya.
Bukan tak mungkin kasus sejenis akan dialami TKI lainnya. Apalagi, penanganan kasus TKI yang dilakukan Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, pemerintah dan semua pihak terkait selalu berbangga jika mendengar majikan dihukum dan TKI diberikan berbagai biaya sebagai kompensasi. Tetapi, sumber masalah yang ada di dalam negeri tetap dibiarkan kian menggurita. Akar masalah itu mulai dari tata cara dan mekanisme perekrutan, proses penyiapan keterampilan, sistem pengiriman, hingga sejumlah ketentuan lainnya, termasuk adanya sindikat dalam pengiriman TKI. Para pelaku sindikat tidak peduli seperti apa nasib TKI di luar negeri. Yang penting bagi mereka adalah menikmati keuntungan dari transaksi pengiriman TKI.

Sumber masalah itu sudah berkali-kali diungkapkan secara telanjang. Solusi juga sudah banyak diberikan, tetapi pemerintah sama sekali tidak punya niat serius untuk menuntaskan masalah.
Terkesan pemerintah tidak pernah merasa bersalah. Mereka malah menganggap sudah bekerja maksimal. Padahal, rasa bersalah itu penting sebagai modal melakukan perbaikan.

TAK SERIUS.
Harus diakui, penderitaan TKI sesungguhnya adalah puncak dari akumulasi perlakuan tak manusiawi yang dialami para buruh migran sejak awal perekrutan. Mereka direkrut perusahaan jasa dengan diimingi gaji besar tanpa melalui proses seleksi dan penyiapan keterampilan yang memadai, termasuk dalam penguasaan bahasa di negara tempat mereka akan bekerja. Hal ini diperburuk lagi dengan lemahnya pengawasan dari instansi terkait.

Kondisi ini menimbulkan masalah bagi TKI yang bersangkutan saat berada di tangan majikan di negara tujuan. Apalagi, demi mendapatkan pekerja itu, majikan pun sudah membayar uang yang tidak sedikit. Kekecewaan majikan dilampiaskan dengan melakukan penyiksaan, menahan gaji TKI, dan berbagai tindakan lainnya.

Dari seluruh mata rantai persoalan TKI, sekitar 95 persen persoalan itu tertanam di Indonesia. Tak kurang ada 18 instansi pemerintah setiap tahun mengalokasikan dana untuk urusan TKI, tetapi hasilnya selalu nihil.

Inilah salah satu bukti kegagalan negara sebab menyuburkan praktik pengiriman TKI yang mengabaikan aspek harkat dan martabat manusia serta legalitas dan keterampilan. Maraknya persoalan yang dialami para TKI juga dipicu kegagalan pemerintah dalam memberdayakan sektor pertanian di pedesaan. Lihat saja nilai tukar produk pertanian selalu lebih rendah daripada sektor lainnya.

Bahkan, tak jarang ongkos produksi pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani. Ini diperburuk lagi dengan maraknya beredar produk impor dengan harga yang jauh lebih murah.

Tak sedikit petani mencoba berganti komoditas yang dibudidayakan sebagai upaya mencari pilihan yang memungkinkan dapat meningkatkan pendapatan. Setelah pilihan itu dicoba, dan tidak memberikan hasil seperti diharapkan, mereka pun putus asa, lalu memutuskan menjadi TKI. Lahan digadaikan guna mendapatkan modal ke luar negeri.

Saat ini yang menjadi petani di Pulau Jawa rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Artinya, dunia pertanian makin ditinggalkan kaum muda dan mereka lebih memilih menjadi TKI. Mengapa? Karena sektor pertanian dinilai tak lagi menjanjikan untuk masa depannya,

Selain itu, pemerintah pun gagal mendorong TKI dan keluarganya memanfaatkan uang dari luar negeri dengan usaha ekonomi produktif. Melalui kegiatan itu, uang yang ada dapat berkembang sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Jika semua uang yang dimiliki habis terpakai untuk urusan konsumtif, otomatis menjadi TKI merupakan pilihan hidup abadi...)*

Kamis, 25 November 2010

Hari Guru, Sertifikasi Guru, Pemuliaan atau Dekadensi Moral ?

Guru ataupun dosen adalah jabatan fungsional yang sebenarnya memiliki lingkup kerja yang hampir sama, keduanya dipisahkan pada level jenjang pendidikan yang diampu. Guru dan dosen adalah salah satu tulang punggung masa depan bangsa dan negara. Suatu bangsa akan maju bila guru dan dosennya bekerja secara benar pada posisinya.

Alih-alih pemerintah ingin memberikan reward kepada guru dan dosen dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi (baca: tunjangan bagi yg sudah mendapat sertifikat), apa daya pelayanan dan mutu pendidikan tak kunjung tercapai. Awalnya tunjangan sertifikasi sebagai senjata ampuh untuk memuliakan guru dan dosen oleh pemerintah, tetapi kemudian senjata itu bagai makan tuan. Entah itu sudah menjadi watak dan karakter, sebagian guru kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sertifikasi karena nilai nominal yang akan didapat sangat menggiurkan.

Tengoklah kejadian proses sertifikasi guru di Riau, ternyata para guru memalsukan karya-karya ilmiah sebagai sarat mendapatkan sertifikasi. Kalau guru saja sudah berani memalsukan karya ilmiyah, lalu apa jadi dengan muridnya, bak pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Kalau demikian adanya apakah salah cita-cita pemerintah memuliakan guru dengan sertifikasi ternyata yang terjadi adalah penuruan moral para guru? Program sertifikasi ternyata banyak disalahartikan sebagai program kenaikan gaji berlipat-lipat. Perbedaan yang mencolok di lapangan antara guru ataupun dosen yang sudah sertifikasi dengan yang belum, hanyalah gaji saja sementara etos dan prestasi tak terlalu signifikan. Apakah pemerintah sudah melakukan evaluasi seberapa besar efek sertifikasi dengan kenaikan mutu kualitas para guru dan dosen?

Sebenarnya maksud pemerintah memuliakan guru dan dosen dengan tunjangan sudah benar, tetapi implementasinya yang sangat rentan dengan manipulasi. Pemberian tunjangan lebih kepada guru dan dosen sebenarnya tidak perlu melalui proses yang sangat rentan manipulasi yang akhirnya menurunkan martabat guru dan dosen itu sendiri?

Untuk dosen, sebenarnya dengan jenjang pendidikannya dan berapa publikasi ilmiah yang telah didesiminasikan tingkat international sudah bisa menunjukkan kualitas seorang dosen. Di negara lain seorang dosen yang sudah mencapai jenjang strata tiga (S3) pastilah dia akan langsung mendapat gaji yang standar untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengikuti persaratan lain dan tentunya akan meningkat sesuai prestasi yang dicapai. Hal ini tentunya juga agar memotivasi para dosen yang sudah S3 untuk dapat mengabdi ke institusinya.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk banyak, yang tentunya juga sudah banyak penduduknya yang mencapai jenjang S3. Tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang S3 di luar negeri ogah-ogahan pulang membangun negarinya. Hal ini dikarenakan nasib mereka tidak akan segera cerah bila mereka tetap tinggal di luar Indonesia. Tentunya ini adalah masalah besar, mereka yang sudah S3 masih memandang feodalisme pangkat di Indonesia yang sangat kental walau di institusi pendidikan sekalipun. Sehingga mereka kalau pulang harus mengabdi dulu dengan gaji yang relatif rendah bahkan untuk mendapat tunjangan yang memadahi seperti tunjangan sertifikasi mereka harus rela menunggu urut kacang (baca: urut senioritas).

Kalau orang-orang yang S3 saja enggan untuk pulang kampung, jangan heran kalau mereka yang cuma alumni sekolah menengah beramai-ramai keluar Indonesia untuk antri menjadi TKI di luar negeri. Lalu kapan orang-orang cemerlang penduduk negeri ini mendapat peluang untuk membangun negerinya.......?)***

Sabtu, 20 November 2010

Tak Ada Negara Miskin Kirim TKW Kecuali RI

Bila menginginkan masalah tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi selesai, satu-satunya solusi adalah dengan tidak mengirim TKI. Saat ini, selain Indonesia, tidak ada negara yang mengirim TKW. Sekarang ini di Saudi juga di negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tidak ada lagi negara yang semiskin apa pun mengirimkan TKW pembantu rumah tangga. 
Itu sudah tidak ada kecuali Indonesia.

Negara-negara lain memutuskan kebijakan tidak mengirim TKW ke Arab karena untuk menyelamatkan mereka hampir tidak mungkin.

Maka sebenarnya, kalau memang masalah TKW ini mau selesai ya yang dikirim TKI saja jangan TKW rumah tangga, diakui masalah TKW sudah sulit diselesaikan. Kalau memang mau diselesaikan sudah harus lewat diplomasi tingkat tinggi, yakni bagaimana diplomasi antar kepala negara agar TKW ditarik saja.

Negara-negara lain seperti Yaman, Pakistan, Banglades, Somalia, Filipina  sudah tidak ada yang mengirimkan TKW untuk pekerjaan rumah tangga. Cuma Indonesia saja. Malah kadang-kadang kita dibilang bangsa tidak punya malu sama mereka. Selain diplomasi tingkat tinggi level kepala negara, harus ada gerakan lintas kementerian seperti antara Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Pengiriman TKW tidak hanya memunculkan tragedi penyiksaan, tapi juga tragedi keluarga seperti suami yang kawin lagi atau hancurnya kehormatan keluarga.

Masalah TKW  bukan menyangkut devisa saja tapi masalah kehormatan bangsa. Masalahnya mampu tidak Kementerian Tenaga Kerja menyetop pengiriman TKW.....???)***

Jumat, 19 November 2010

Hukum Manusia Mengalahkan Hukum Tuhan ?

Hukum yang berlaku di alam ini bersumber dari berbagai macam hukum, ada yang berdasarkan hukum adat, hukum Negara, Hukum Agama dan hukum yang lain. Masing-masing dari setiap hukum itu sendiri mengklaim bahwa hukum mereka itulah yang paling benar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dan semua diwajibkan untuk tunduk dan taat atas hukum yang berlaku tersebut dan jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang yang dibuat tersebut.

Namun apa yang terjadi apabila hukum tersebut berlaku pada sebuah negara yang sangat beragam suku bangsa dan agama seperti Indonesia?
Untuk melihat masalah ini mungkin untuk lebih jelasnya kita melihat salah kasus yang saat ini masih terjadi yaitu kasus Pernikahan Syeh Puji dengan Ulfa yang dianggap masih dibawah umur.

Dalam kasus ini sangatlah nyata bahwa hukum yang dibuat oleh manusia berbenturan dengan hukum salah satu agama yaitu “Agama Islam”. Menurut syekh Puji, dalam Islam tidak ada dalil yang melarang umatnya untuk menikahi seorang perempuan dibawah umur tujuh belas tahun atau usia tertentu. Sehingga Syeh Puji  mungkin Berfikir “Tuhan yang menciptakan manusia saja tidak melarang, masa, Manusia yang diciptakan oleh Tuhan berani melarang, Apa ini tidak berarti bahwa manusia itu melawan hukum Tuhan ?”
Namun berbeda dengan dasar hukum yang dipegang oleh Komisi Perlindungan Anak bahwa pernikahan Syeh Puji ini melanggar Undang-undang pernikahan dibawah umur yang sumber dari Undang-undang ini di buat oleh Negara (Manusia).

Namun menurut saya untuk kasus Ulfa ini sendiri menurut pandangan saya memang terlalu dilebih-lebihkan oleh pihak Komisi Perlindungan Anak dan juga pihak kepolisian. Ini lebih cenderung karena bukan masalah pada pernikahan dini akan tetapi lebih kepasa SIAPA yang melakukan pernikahan dini tersebut.? Kasus pernikahan dini di Indonesia sendiri oleh banyak kalangan dianggap sebuah kasus yang sudah terjadi sejak dahulu yang mereka melakukan pernikahan tersebut karena menggunakan hukum agama ataupun hukum adat.
Kasus pernikahan yang di lakukan oleh Syeh Puji diributkan menurutku lebih karena Syeh Puji adalah orang yang terkenal dan kaya raya dan banyak rupiah sehingga kasus ini dibesar-besarkan. Saya berani mengatakan ini karena FAKTA dilapangan memang Syeh Puji adalah seorang yang kaya raya sehingga ada yang diuntungkan dalam kasus ini.

Coba lihat pernikahan dibawah umur yang terjadi dan menimpa orang-orang miskin di pelosok negeri ini, Apakah Komnas perlindungan anak atau Lembaga bantuan hukum mempermasalahkan hal ini dan kemudian mempublikasikan lewat media-media ? sama-sekali belum pernah saya dengar dan saya lihat.

Apakah selamanya hukum yang diciptakan oleh manusia bisa mengalahkan hukum yang dibuat oleh Tuhan selama ada Rupiah yang mengalir ?
 
Bagaimana menurut kawan-kawan yang lain, pernahkah melihat disekitar anda bahwa hukum Manusia bisa mengalahkan hukum Tuhan yang berlaku dalam sebuah kitab suci anda ?)***

Inspirasi Untuk Nurani, Inspirasi Untuk Negeri

Melihat fakta pada gambar-gambar diatas merupakan sebuah renungan dan inspirasi buat saya pribadi tentang memaknai pemikiran, prinsip hidup dan keinginan saya untuk selalu mencari tahu tentang “NURANI” dan KEBENARAN. Mungkin bukan sebuah kebenaran yang MUTLAK, karena kebenaran yang MUTLAK hanya miik Tuhan sedangkan kebenaran yang di “Klaim” oleh manusia di setiap saat dan mungkin di setiap detik bisa di gugat oleh klaim-klaim kebenaran yang dilontarkan oleh orang lain.

Dari dua gambar tersebut diatas, ada pelajaran penting yang bisa menjadi inspirasi saya dalam menjalankan roda kehidupan di negeri yang plural lengkap dengan berjuta kontroversi ini.
Gambar Pertama memberikan saya “WARNING” bahwa tidak ada JAMINAN bahwa mereka yang memiliki jabatan terhormat, mereka yang mengklaim diri mereka orang-orang yang layak menerima gaji tinggi dari rakyat, fasilitas mobil mewah, rumah mewah dan semua tunjangan-tunjangan serba mewah lainya bisa melakukan tanggungjawab dan melakukan kewajiban mereka walaupun seluruh HAK-HAK mereka telah diberikan secara total, dan semuanya dikeluarkan dari keringat-keringat rakyat bernama Pajak. tapi lihatlah, apa yang kita lihat dalam gambar tersebut memberikan kita gambaran dan WARNING bahwa ketika kita mendapatkan semua hak-hak tersebut belum tentu kinerja dan KEWAJIBAN mereka sebanding dengan HAK-hak yang telah mereka terima dari rakyat.

Dan dari yang demikian itu, saya menemukan faktor yang menurut saya kenapa mereka melakukan hal yang demikian, itu karena pengabdian dan kinerja mereka sudah dinilai dan diukur hanya dari “RUPIAH” sehingga mereka walaupun diberikian gaji yang tinggi, fasilitas mobil mewah, rumah mewah dan fasilitas yang serba mewah tetap saja mereka melakukan perbuatan yang demikian.

Sedangkan kita akan melihat sebuah FAKTA yang begitu Contras ketika melihat gambar yang kedua, dimana dalam gambar kedua kita melihat di sana ada Pak Sugeng yang beliau adalah bukan hidup dari gaji uang rakyat, beliau juga tidak pernah menerima fasilitas mobil mewah dari rakyat, beliau juga tidak tinggal dan hidup dalam rumah mewah yang juga di berikan oleh negara untuk beliau. Beliau juga bukan orang yang memiliki fisik yang utuh seperti pejabat-pejabat negeri ini melainkan beliau adalah seorang yang tidak memiliki kaki. Tapi coba mari kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh Pak Sugeng untuk negeri ini ?
Pak Sugeng dengan keterbatasan dan kekuranganya justru memberikan banyak manfaat untuk orang-orang disekitarnya, dengan kekurangan fisiknya tersebut belau membuat ribuan kaki palsu gratis yang dibagikan untuk mereka orang-orang cacat yang bernasib seperti beliau diberbagai daerah di Indonesia, bukan hanya sekedar memberikan kaki gratis semata tapi beliau juga memberikan motivasi dan semangat kepada orang-orang yang bernasib sama denganya untuk tidak mudah putus asa dan bergantung kepada orang lain.

Dan ternyata dari orang-orang seperti Pak Sugeng ini saya dapatkan pelajaran yang juga sangat luar biasa yaitu bagaimana kita bisa memahami MAKNA IKHLAS dan PENGABDIAN yang sesungguhnya. Sebuah makna Ikhlas dan pengabdian yang tidak pernah membutuhkan SYARAT apapun seperti halnya yang tercantum dalam setiap KITAB SUCI semua agama.
Sebenarnya masih banyak sekali orang-orang seperti pak Sugeng yang bisa kita temukan disekitar kita tentunya dengan cerita yang berbeda seperti yang bisa kita temukan dalam buku-buku karya Penulis matahari Timur yang menceritakan tentang “GURU KEHIDUPAN” dimana disana banyak sekali kisah yang bisa kita ambil keteladananya.
Dan untuk mengambil semua keteladanan tersebut bukan hanya kita diam dan bicara saja  (seperti saya) tapi memang harus dengan perbuatan yang nyata.

*Tulisan ini semata2 hanya untuk inspirasi saya sendiri karena saya ga tahu jika inspirasi untuk saya pribadi inspirasi juga untuk orang lain, apalagi untuk negeri ini......)***

Rabu, 15 September 2010

Para Koruptor Menang di Pilkada

Bila kita cermati secara kritis, bisa disimpulkan bahwa pilkada langsung yang secara filosofi digagas dan diterapkan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang kapabel, bersih, dan berwibawa untuk membawa kesejahteraan rakyat daerah ternyata hanya pepesan kosong. Kita bisa memahami kalau incumbent yang tidak berstatus tersangka kalah dalam pilkada lalu dinilai bahwa mereka belum bisa menghadirkan sesuatu yang diharapkan masyarakat pemillih. Namun, bagaimana logika kita bisa memahami ketika incumbent yang berstatsu tersangka bisa dipilih kembali oleh rakyat dan menang mudah dalam pilkada?
Kasus pilkada Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan menambah catatan kegagalan misi pemilihan langsung. Bagaimana seorang istri mantan bupati yang kini suaminya menjadi narapidana korupsi dan ditambah dengan ketetapan pengadilan bahwa sang suami dinyatakan pailit karena tidak bisa mengembalikan uang yang dikorupsi atau kerugian negara bisa memenangi pilkada dengan mudah?
Memang secara normatif di dalam UU Pilkada maupun UU yang mengatur kewenangan KPU tidak tertulis secara jelas bahwa orang yang menjadi tersangka korupsi atau keluarga koruptor dilarang maju menjadi calon kepala daerah. Status tersangka juga tidak menghalangi calon terpilih untuk dilantik. Itu terjadi karena asas hukum praduga tak bersalah yang dipakai dalam merumuskan UU Pilkada.
Hanya, yang perlu dipertanyakan, apa fungsi demokratisasi berupa pemilihan langsung kepala daerah kalau kemudian rakyat tidak bisa memilih pemimpin yang lebih baik? Dulu kita mengkritik model pengangkatan kepala daerah karena tidak demokratis dan tidak melibatkan rakyat. Hal tersebut dikritik karena dinilai tidak bisa memunculkan kader-kader bangsa yang lebih baik untuk menjadi pemimpin. Semua bergantung kepada kemauan petinggi-petinggi negeri ini. Atas dasar pemikiran seperti itu, lahirlah otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Namun, ketika kebebasan diberikan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri, hasil pemilihan langsung tersebut ternyata belum tentu lebih baik daripada pola pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat. Sebab, sistem pengangkatan langsung -walaupun ada KKN-nya- tidak banyak menguras modal para calon. Sedangkan biaya pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata jauh lebih mahal. Jika untuk bisa menang kandidat harus mengeluarkan banyak uang, apalagi dia sudah memiliki pengalaman korupsi dengan bukti statusnya sebagai tersangka, apakah tidak akan jauh lebih dahsyat untuk menguras keuangan daerah setelah dilantik. Oleh karena itu, kita perlu bertanya, lebih bahaya mana pilkada langsung dengan modal besar dan nanti menguras uang daerah jika dibandingkan dengan pola pengangkatan kepala daerah dengan biaya relatif sedikit bila dilihat dari sisi cita-cita menyejahterakan masyarakat? 

Demokrasi=Uang
Belajar dari pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini di semua daerah, tampaknya, demokrasi di Indonesia ini masih identik dengan uang. Demokrasi memang telah membuka keran kebebasan bagi siapa pun untuk maju menjadi pemimpin daerah. Namun, ruang kebebasan itu ternyata tidak murah. Perlu dana besar untuk bisa menikmati ruang kebebasan tersebut.
Semua orang di negeri ini bisa melihat dan merasakan -bahkan menjadi pelaku demokrasi itu sendiri- bahwa maju sebagai calon kepala daerah itu tidak cukup hanya bermodal kebaikan, integritas teruji, profesionalitas mumpuni, dan berpengalaman. Semua yang positif sebagai prasyarat menjadi pemimpin tersebut hilang ditelan bumi ketika (orang itu) tidak memiliki dana yang cukup besar untuk ikut pilkada.
Sebaliknya, walaupun prasyarat-prasyarat sebagai pemimpin tidak terpenuhi -asalkan memiliki banyak uang- (orang tersebut) tentu akan dipilih rakyat. Rakyat tidak lagi melihat status kandidat itu tersangka atau tidak. Bahkan, mantan narapidana korupsi pun -kalau diperbolehkan mencalonkan diri dan memiliki banyak uang- akan dipilih oleh rakyat.
‘’Kelemahan’’ orang-orang yang baik adalah tidak berani menggunakan segala cara untuk menang. Sedangkan ‘’kelebihan’’ orang jahat adalah berani menggunakan cara apa pun, yang penting menang. Keberanian menggunakan segala cara tersebut termasuk mencari modal untuk pilkada. Oleh karena itu, wajar kalau incumbent yang tidak berstatus tersangka kalah, sedangkan yang berstatus tersangka justru menang. Sebab, yang berstatus tersangka tidak takut mengambil uang dari mana pun untuk diberikan kepada rakyat.
Pada zaman demokrasi sama dengan uang, yang bisa memberikan uang berarti sang malaikat. Jangankan hanya disuruh memilih, disuruh menyembah pun, orang akan melakukan. Yang penting, dapat uang.
Sebaik apa pun sistem yang diterapkan, bila moralitas tercerabut, bencanalah yang akan terjadi. Oleh karena itu, pilkada langsung yang dianggap ideal pun gagal membawa misi perubahan dan perbaikan karena moralitas (manusia) hangus terbakar uang.)***

Jumat, 20 Agustus 2010

------------ Kekuasaan ------------

Sudah jelas ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan pertama kemerdekaan adalah supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan setelah kita bebas dari kolonialisme selanjutnya ingin melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya (tujuan ideal kemerdekaan sebuah bangsa dan negara). Pertanyaannya, mengapa setelah 65 tahun menjadi bangsa yang merdeka tujuan untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa belum juga terwujud? Apanya yang salah dan siapa yang salah?
Adalah mustahil sebuah negara dan bangsa akan sejahtera, adil dan makmur manakala negara tersebut mengabaikan pembangunan di bidang politik, hukum dan ekonomi. Dari ketiga matra tersebut, pembangunan politik merupakan landasan utama perjalanan sebuah bangsa. Sebab, maju mundurnya peradaban sebuah bangsa sangat tergantung pada pembangunan politiknya. Adakah kemauan politik dari para penguasa negeri ini untuk segera membebaskan negara yang kita cintai ini dari berbagai macam kemunduran di bidang hukum, ekonomi dan pendidikan?
Ada anggapan yang menerangkan dalam membangun negara kerap kali salah, yakni yang dibangun bukan negara Indonesia melainkan memperkuat kedudukan para elite penguasa. Mestinya kita harus mau belajar pada sejarah, mengapa kerajaan Majapahit yang demikian besar dan kokoh akhirnya amblas disapu gelombang peradabannya sendiri? Jawabannya tak lain dan tak bukan karena apa pun landasan teori, pada akhirnya yang bisa menguasai negara hanyalah segolongan kecil orang saja, sementara golongan terbesar adalah barisan rakyat yang harus tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang dibuat oleh negara/pemerintah.
Ketika yang dibangun hanya kekuasaan an sich, justru negara tersebut (rakyat) akan terpinggirkan. Selanjutnya, ketika kezaliman para penguasa semakin memuncak, rakyat akan menghimpun seluruh kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan (rezim). Sementara, negara sebagai konsep yang abstrak tetap utuh, yang jatuh hanyalah penguasa yang korup.
Hingga sekarang, belum ada jaminan bahwa orang yang sedang berkuasa, pasti tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak sewenang-wenang, yang ada barulah sekadar janji-janji, yakni ketika belum menjadi penguasa berjanji akan berbuat begini atau akan berbuat begitu.
Membangun negara tidaklah sesulit seperti yang kita bayangkan, yang paling sulit justru bagaimana cara menghilangkan sikap rakus dan sewenang-wenang dari para penguasanya. Hukum hanyalah sekadar alat, maka ketika yang memegang alat itu ''para bandit yang pemabuk'', malah sangat mengerikan akibatnya. Sebab, bisa saja yang salah jadi benar dan yang benar justru jadi salah.
Kekuasan memang kerap membuat siapapun mabuk. Bahkan, bisa membuat terlena. Adalah hal yang wajar, idealnya memang perlu ada batasan waktu untuk menikmati kedudukan. Sebab, paling tidak virus kekuasaan yang membuat orang lupa diri bisa dihindari.....)*

Kamis, 19 Agustus 2010

Tujuh Belas Agustus dan Reformasi.....

Tujuh Belas Agustus adalah tanggal bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Selalu ada perasaan campur aduk saat melaluinya. Bahkan, sekedar mendengar energi berbeda segera mengalir dalam tubuh. Peristiwa di tanggal itu adalah awal perjalanan panjang tanpa tahu batasnya bagi bangsa ini untuk merengkuh cita-citanya.

"Kemerdekaan" adalah kata, peristiwa, sifat, yang luar biasa. Jangankan bangsa. Bahkan, Tuhan mengutus Nabi dan RasulNya dengan misi untuk menjadikan manusia merdeka melalui PetunjukNya.

Pendiri bangsa ini adalah tokoh-tokoh hebat. Mereka sadar apa dan bagaimana merdeka dalam arti sesungguhnya. Mereka merumuskan pijakan dasar bangsa yang sangat visioner, Pancasila. Para pendiri bangsa tersebut telah pula mendeskripsikan secara ringkas tujuan dibentuknya Indonesia melalui Pembukaan UUD 45. Sungguh beruntung bangsa sebesar dan seberagam ini mempunyai para pendiri yang beriman, bervisi, dan
toleran.

Soekarno memulai kerja besar bangsa ini dengan meneguhkan jati diri bangsa secara fisik dan ideologis. Wilayah negara dan landasan berpikir dikonsolidasi. Dengan berbagai gejolak sebagai bangsa yang baru lahir dengan jangkauan kebhinekaan luar biasa Soekarno mati-matian menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa yang lahir pada 1945 ini.

Soeharto meneruskan langkah pendahulunya dengan cara berbeda. Ia memulai dan melakukannya dengan prinsip sederhana. Rakyat harus cukup makan. Tak heran pada 1984 Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya (beras) secara mandiri setelah merangkak dari negara pengimpor beras terbesar di dunia pada awal 1970-an.

Ia juga meyakini bahwa dengan industrialisasi maka bukan hanya pangan. Tapi, kebutuhan lain juga akan terpenuhi melalui penghasilan yang akan diperoleh dari hasil produksi.

Namun, kerja besar Soeharto berakhir serupa dengan Soekarno. Penolakan luas terjadi di seluruh negeri. Rakyat tak puas terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang bermuara pada runtuhnya sendi-sendi moral bangsa. Kemakmuran dibayar dengan kemerosotan akhlak yang masif. Tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan dari tingkat paling atas hingga terbawah.

"Reformasi" kemudian muncul sebagai "mantera" sebagaimana "Pancasila" pada masa Orde Baru. Ia menjanjikan dan memberikan mimpi, harapan, dan semangat indah. Merdeka dari kemiskinan, ketergantungan, penindasan. Kata reformasi digunakan sebagai latar belakang sambutan pejabat, dokumen kebijakan, dan berbagai naskah dalam pemerintahan.

Ia juga ditulis sebagai dasar dan tujuan yang wajib tercantum dalam kampanye pemilihan kepala daerah atau dewan perwakilan rakyat. Namun, setelah lebih dari satu dasawarsa, ia tetaplah sebuah kata yang tak bermakna dan kadangkala "menyebalkan" bagi sebagian rakyat negeri ini.

Ia adalah mantera yang tak mengubah "kodok" menjadi, paling tidak bocah, untuk tidak mengatakan "pangeran". Dan, akhirnya ia tak lebih dari jampi-jampi politik yang teronggok di dalam dokumen-dokumen resmi yang tak kunjung berujud sebagai kekuatan yang nyata.

Yang lebih menyedihkan mereka sebagian yang semestinya mewujudkan reformasi sebagai mesin pembebas bangsa justru tak jarang tak ingat lagi tentang amanat itu. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan kemudian lebih celaka ini dilakukan secara "berjamaah".

Bangsa ini seolah mengulang kesalahan yang sama. Jika di masa Orde Baru "jamaah" ini ibarat piramida yang berpusat di satu titik puncak. Maka di masa ini bentuknya berubah seperti piramida terpotong bagian atas yang jauh lebih lebar pada bagian bawahnya. Pusatnya tersebar namun daya jangkaunya makin luas. "The World is Flat" versi Indonesia.

Kemerdekaan akhirnya benar-benar mahal. Bahkan, sangat mahal. Ia hanya dapat dimiliki oleh mereka yang notabene memiliki kekuasaan ekonomi. Tanpa itu siapa pun harus bersiap untuk terjajah oleh kekurangan penghasilan, akses pendidikan yang baik, sarana kesehatan, apalagi hukum.

Bagaikan pungguk merindukan bulan. Kemerdekaan yang hakiki ternyata masihlah cita-cita. Ketergantungan dan ketakutan pada bangsa asing, kemiskinan, kekurangan pendidikan dan kesehatan, ketakberdayaan dalam hukum menjadikan bangsa ini pada dasarnya masih "terjajah".

Bila merdeka diibaratkan kibaran bendera di tiang yang tegak, maka tiang itu kini masih miring. Semua orang di negeri ini mengemban kewajiban menegakkannya. Kehormatan bagi anak bangsa saat ikut menopang dan menegakkan tiang itu. Meski mungkin saat ajal tiba tiang itu masih belum tegak. Insya Allah Tuhan akan menyambut dengan hamparan permadani ridla-nya.

Dan akhirnya di tengah perjuangan meraih kemerdekaan sejati tak ada salahnya kita menyambut hari "kemerdekaan" ini dengan memekikkan kata "MERDEKA". Semoga Tuhan mengabulkan harapan bangsa ini. Amin.

Nasionalisme di Tengah Emosi

Beberapa minggu ini rakyat diajak untuk ikut emosi oleh beberapa persoalan. Pertama, persoalan terorisme yang sangat gencar diberitakan media dan kepolisian. Hampir setiap hari dan hampir semua stasiun televisi berlomba menayangkan berita dan analisa mengenai terorisme.

Rakyat diajak waspada. Rakyat diajak takut. Rakyat diajak membenci suatu obyek yang tidak mampu melakukan perlawanan opini. Karena, tidak pernah ada ruang untuk menjelaskan jati diri dan semua aksi yang telah terjadi. Yang lebih memprihatinkan adalah rakyat diajak curiga satu sama lainnya. Bahkan, korban telah terjadi. Ada warga yang diusir dari tempat tinggalnya oleh warga lain karena dituduh sebagai teroris.

Kegagalan polisi menyelesaikan aksi-aksi teror yang telah lama terjadi di negeri ini menyebabkan polisi bertindak ceroboh dan gegabah. Polisi memperluas permusuhannya. Bukan hanya kepada teroris. Tapi, juga kepada umat Islam dengan instruksi mengawasi setiap aktivitas dakwah yang ada dan mencurigai semua orang yang menggunakan atribut agama. Polisi juga telah mengajak rakyat mewaspadai hal-hal baik dan orang-orang baik. Yang pada ujungnya tidak mustahil polisi akan mengajak rakyat membenci kebaikan dan orang-orang baik.

Apa yang dilakukan aparat saat ini persis seperti yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru yang memusuhi kebaikan. Era 80-an ditandai dengan pelarangan muslimah mengenakan jilbab dan sempitnya ruang untuk berdakwah. Setiap ustad yang mau ceramah harus memiliki SIM alias Surat Izin Mubaligh.

Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu ditongkrongi polisi dan harus mendapat izin resmi. Negara pada saat itu juga mempertentangkan agama dan Pancasila yang melaksanakan agama dianggap tidak setia pada Pancasila. Semua harus turut dalam keseragaman yang disebut azaz tunggal. Negara seperti mengalami amnesia bahwa kata jihad dan teriakan Allohuakbarlah yang sesungguh telah mewarnai hari-hari perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
merdeka.

Persoalan kedua, adalah persoalan klaim budaya oleh Malaysia. Selama ini banyak atribut dan artifac budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia. Dari mulai batik, keris, wayang, reog Ponorogo, sampai terakhir tari pendet. Malaysia sendiri sudah mengklarifikasi dan mengatakan tidak pernah berniat mengklaim tari pendet sebagai budaya asli Malaysia. Justru Malaysia menjelaskan asal usul tari pendet yang berasal dari Bali itu.

Tapi, rakyat sudah terlanjur dilibatkan dan diajak untuk ikut emosi. Sehingga, meski mereka tidak pernah menonton film promosi budaya Malaysia yang tayang di Discovery Channel, dengan penuh percaya diri mereka turut dalam demonstrasi.

Persoalan ketiga, adalah persoalan tiga pulau yang dijual di Mentawai. Isu ini ternyata bukan hal baru. Sejak tahun 2005 sudah ada tujuh pulau termasuk di Karimunjawa dan Manggarai yang dijual. Pemerintah tahu mengenai penjualan ini. Namun, Pemerintah seolah tutup mata dan merasa tak berdaya dengan mengatakan penjualan terjadi karena pulau itu bukan milik pemerintah. Tetapi, milik warga dan warga yang telah menjualnya.

Dari persoalan-persoalan tersebut di atas efek positif yang muncul adalah rakyat disadarkan bahwa kita sesungguhnya benar-benar bangsa yang kaya. Bukan cuma kaya secara fisik, dengan keindahan alam, kesuburan tanah, kekayaan kandungan bumi, kekayaan isi lautan dan lain sebagainya, melainkan juga kaya akan budaya.

Efek positif lainnya adalah munculnya kecintaan pada bangsa dan semangat untuk membelanya. Saya yakin seluruh anak negeri bangkit kecintaannya pada Bumi Pertiwi dan bersemangat untuk membela Ibu Pertiwi ketika menyadari bahwa apa yang kita punya satu per satu sirna. Namun, persoalannya kita juga menjadi miris dan sakit hati. Karena, semua kekayaan kita selama ini tak bisa kita nikmati.

Bukan semata-mata sakit hati dengan bangsa asing yang mengakuisisi kekayaan alam kita, yang telah mengklaim budaya kita, yang telah mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan kita. Tapi, kita juga sakit hati kepada elit-elit dan pemimpin negeri yang telah mendapat amanah untuk menjaga NKRI namun tak mampu merawat, menjaga, dan mengembangkan seluruh kekayaan alam dan kekayaan budaya yang kita miliki. 

Rakyat diajak menjadi nasionalis, rakyat diajak cinta negeri, tapi diam-diam mereka menjual semua aset negeri dan harga diri bangsa ini kepada bangsa-bangsa lain. Kita bisa menyaksikan bagaimana daratan Singapura yang setiap harinya bertambah luas karena pasokan pasir dari Indonesia namun pemerintah seperti tutup mata.

Kita bisa menyaksikan bagaimana lahan-lahan perkebunan yang subur di wilayah Sumatera telah menjadi milik pengusaha-pengusaha Malaysia dan Singupura. Sementara penduduk asli dipaksa mengungsi. Kita bisa menyaksikan satelit palapa yang menjadi kebanggaan anak bangsa secara sadar dijual murah kepada Singapura. Kita bisa menyaksikan lahan-lahan kaya tambang dan gas kita telah dikuasai korporasi dunia yang tak berjiwa.

Kita bisa menyaksikan penenun dan pelukis batik yang hidupnya termarginalkan di desa-desa di pinggir kota. Kita bisa menyaksikan seniman-seniman tradisional yang hidup jauh dari sejahtera, dan masih banyak lagi bukti bahwa para pemimpin kita tidak pernah serius dalam merawat, menjaga, dan mengembangkan kekayaan yang kita miliki.

Saya berharap rakyat kita tidak terjebak permainan emosi yang sedang dilakukan elit-elit negeri. Rakyat mesti waspada dari setiap praktek adu domba dan pengalihan isu atas hak-hak kesejahteraan, hak-hak ketentraman dan keamanan yang seharusnya mereka miliki yang gagal dipenuhi pemerintahan saat ini.

Rakyat perlu membangun posisi tawar baru dalam setiap mobilisasi yang mengatasnamakan cinta terhadap negeri. Rakyat mesti berani menuntut pengembalian semua aset ekonomi dan aset budaya yang selama ini secara sengaja dikuasakan kepada bangsa-bangsa lain. Semoga keberanian itu segera datang....)***

Nasionalisme, Mau Dibawa ke Mana...???

Berbagai permasalahan yang menggelayuti bangsa kita dari mulai korupsi, lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, lemahnya daya saing, hingga degradasi moral seakan terus mengikis rasa bangga kita pada Indonesia. Proses memudarnya identitas nasional juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kini life style ala Barat yang materialistik menjadi sesuatu yang digandrungi oleh muda-mudi kita. Seakan kehilangan identitas sebagai bangsa relijius yang menjunjung etika ketimuran. Bahkan, angka hubungan seks di luar nikah di Indonesia mencapai 40-45%(BKKN).

Wacana-wacana negatif di atas seakan menggoyahkan rasa nasionalisme kita sebagai insan yang terlanjur memiliki identitas sebagai putra-putri Bumi Pertiwi Putra-putri Indonesia. Adakah 65 tahun kemerdekaan telah benar-benar menghilangkan ungkapan "aku malu menjadi bangsa Indonesia". 

Nasionalisme sangat penting bagi suatu bangsa agar bisa survive dalam percaturan global. Nasionalisme akan menjaga kedaulatan dalam satu identitas bersama. Nasionalisme juga berperan sebagai inspirasi yang menjadi motivasi bagi individu bangsa secara kolektif untuk berprestasi. Dalam iklim persaingan kapitalistik ditingkat global nasionalisme merupakan modal untuk membangun harga diri yang pada gilirannya akan membangun bargaining position yang kuat dalam persaingan.

Membangun rasa nasionalisme menjadi mendesak di tengah persaingan global yang datang menjamah dari kiri dan kanan, depan dan belakang, serta di tengah identitas nasional yang semakin tergerus. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah nasionalisme seperti apa yang dibutuhkan untuk dibangun "ke mana arahnya". Mau dibawa ke mana? 

Menurut Sulfikar Amir Pengajar Sosiologi di Universitas Nanyang Singapura nasionalisme Indonesia masih berbentuk sebagai nasionalisme yang "menghadap ke belakang" bukan "menghadap ke depan". Artinya nasionalisme kita masih berbentuk mitos-mitos tentang superioritas yang "terinstitusionalisasi". Nasionalisme merupakan khayalan-khayalan yang digunakan penguasa untuk memobilisasi massa untuk kepentingan politik dalam bentuk kooptasi-kooptasi. Hal ini terlihat kental di masa Orde Baru.

Nasionalisme harus diubah menjadi future oriented. Nasionalisme yang menghadap ke depan di mana materi nasionalisme bukan sekedar utopia-utopia yang dibumbui cerita sejarah tentang kejayaan Kerajaan Majapahit misalnya. Namun, nasionalisme harus menjelma menjadi semangat visioner yang menginterpretasikan Indonesia sebagai negara bangsa yang hidup di dunia modern. Memandang Indonesia sebagai "land of promise" bukan sekedar "land of legacy". Berpindah dari Nasionalisme Simbolik ke Nasionalisme Substantif.

Maraknya gerakan untuk memakai batik di kalangan kawula muda, pertunjukan kolaborasi angklung dengan musik modern, marahnya masyarakat akibat sabotase negri jiran atas tari pendet tentu merupakana hal-hal yang patut disyukuri. Namun, pengejawantahan nasionalisme belum berhenti dalam hal-hal yang sifatnya simbolik itu.

Nasionalisme harus diejawantahkan dalam bentuk yang lebih substantif. Nasionalisme sebagai sebuah konsep yang sifatnya abstrak harus ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih konkrit yaitu kesejahteraan yang adil dan tidak bersifat semu.

Dalam proses transformasi itu nasionalisme akan berhadapan dengan tantangan-tantangan. Dalam memandang nasionalisme dengan cetakan menghadap ke depan maka nasionalisme kini ditantang
oleh isu-isu global dan domestik.

Tantangan Aktual Nasionalisme
Di tingkat global kita ditantang oleh perdagangan bebas. Global trade menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" merupakan sebuah keniscayaan yang tidak satu pun bangsa di dunia dapat lari darinya. Yang bisa dilakukan adalah terlibat di dalamnya mengambil keuntungan dari dalamnya dengan melakukan pengakalan-pengakalan untuk meminimalisir resiko-resikonya.

Pengakalan-pengakalan itu biasanya dalam bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi serta inisiasi-inisiasi untuk menstimulus aksi dari pelaku usaha untuk beradaptasi dengan persaingan. Negara yang tidak sanggup beradaptasi dengan globalisasi akan menjadi korban dari penjajahan ekonomi negara-negara maju. Pada titik ini membangun nasionalisme pada individu bangsa akan menjadi seperti menegakan benang basah.

Hendri Saparini merupakan salah satu ekonom mengkampanyekan ekonomi konstitusi sebagai solusi menghadapi persaingan global. Menurutnya ekonomi bangsa harus dikembalikan kepada spirit pancasila dan konstitusi kita di mana arahnya adalah pro kesejahteraan rakyat dan bukan pro liberalisasi dan pasar tanpa berfokus pada keadilan.

Pembangunan ekonomi akan berdampak pada perbaikan sendi-sendi lain yang akan menjawab tantangan-tantangan nasionalisme yang lain. Di antaranya adalah separatisme dan ancaman gerakan subversif. Dua hal itu merupakan isu yang cukup hangat belakangan ini. Upaya deradikalisasi yang sifatnya sosiologis dan penindakan terhadap terorisme dengan menggunakan senjata untuk membungkam terorisme harus didukung pula dengan peningkatan kesejahteraan.

Apabila negara telah menjamin kesejahteraan rakyatnya peluang menyebarnya ideologi radikal akan mengecil. Terorisme bisa jadi lebih merupakan ekses dari frustasi masyarakat kelas bawah atas kegagalan sistem yang ada memenuhi hajat hidup mereka.

Seorang pengamat terorisme Barat mengatakan jika Indonesia ingin melakukan deradikalisasi jalannya adalah justru dengan memberi ruang kepada elemen-elemen radikal itu mengungkapkan gagasannya. Demokrasi yang kini dibangun menurutnya masih belum mewadahi aspirasi dari semua elemen.

Dengan sendirinya akan terbangun simpati dari kelompok radikal terhadap pemerintah sebagai penggerak sistem yang ada sehingga dengan komunikasi yang terbangun radikalisasi akan teredam. Dengan adanya akomodasi yang proporsional akan membawa elemen-elemen yang ingin mengubah sistem menjalankan aksinya melalui jalan yang sesuai dengan konstitusi.

Di antara tantangan domestik lain yang berpotensi merongrong nasionalisme yang sekarang ini sedang hangat adalah mengenai kebhinekaan. Harus diakui takdir kita untuk hidup dalam negara multiagama, multietnis, dan beragam adat istiadat ini cukup merepotkan kita untuk mengharmonisasikannya. Seperti sebuah ungkapan "sering kali bukan masalah benar dan salah kita bertengkar, namun hanya karena kita berbeda kita berselisih".

Nasionalisme kita ditantang sejauh mana dapat mengatasi pelbagai perbedaan yang ada itu. Bisakah Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat lebih tangguh untuk mewarnai sendi-sendi hidup kita dan meredam semua konflik? Azyumardi Azra berupaya mencari jawaban untuk pertanyaan ini dengan gagasannya mengenai revitalisasi Pancasila.

Menurutnya Pancasila merupakan ideologi terbuka harus terus dikaji, didiskusikan, guna dapat beradaptasi dengan berbagai problema zaman. Pancasila bukan sebuah ideologi dogmatis yang absen dari pengkajian dan dibiarkan sebagai formalitas semata seperti yang terjadi sekarang.

Bangsa yang berdaulat dinilai juga dari sejauh mana ia dapat menjaga teritorinya dari disintegrasi maupun pencaplokan bangsa lain.Ini adalah tantangan nasionalisme yang lain. Ada sekitar 92 pulau terluar di Indonesia dan 12 di antaranya rawan memicu konflik. Kebijakan pertahanan kemanan Indonesia harus memberi perhatian lebih dalam penjagaan pulau terluar.

Membangun daerah-daerah perbatasan juga merupakan hal serius untuk mencegah potensi disintegrasi dan pencaplokan. Sesuatu yang menggembirakan bahwa di beberapa daerah perbatasan telah dibangun sarana-sarana pendidikan seperti fasilitas internet untuk meningkatkan pendidikan masyarakat setempat.

Membangun nasionalisme merupakan tugas yang sangat penting untuk menghadapi persaingan. Pembangunan nasionalisme substantif diarahkan pada isu-isu strategis dan urgen saat ini yaitu, membangun ekonomi nasionalisme yang sesuai konstitusi, memecahkan problem kebhinnekaan, merevitalisasi Pancasila untuk lebih membangun persatuan bangsa dan penjagaan pulau-pulau terluar untuk menjaga kedaulatan.

Ini tugas seluruh elemen bangsa. Belum terlambat.

Rabu, 18 Agustus 2010

GERINDRA ANCAM TARIK DUKUNGAN DARI EDI-APRILYA



DPC Partai Gerindra Pandeglang merasa sangat kecewa pada Pasangan Siap Bangkit (Edi Suhaedi - Aprilya Hendiasaty Putri) yang dinilai tidak respek terhadap partai pengusungnya. Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penjaringan dan Verifikasi, A Ucu SN, Senin 17/08, di Sekretariat Jl. Raya Labuan Km.3 Komplek PIPWS No. B1, Saruni Majasari, Pandeglang.

Sebagai partai pengusung, menurut Ucu, awalnya Gerindra yakin bahwa pasangan calon bernomor urut 2(dua) itu dapat bersaing dengan pasangan calon manapun. Karena selain Edi – April sendiri memiliki basis massa fanatik, ditambah dukungan banyak parpol baik yg bercokol di parlemen maupun non parlemen. Namun sayang pada perkembangannya, banyak hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang paling mendasar adalah, komunikasi antar partai pendukung sendiri.

“Kami kecewa pada Edi–April. awalnya kami yakin calon yang kami usung dapat bersaing dengan pasangan calon manapun. tapi kemudian saya melihat ada beberapa hal yang harus di perhatikan, salah satunya komunikasi antar partai pengusung.” Kata Ucu.

Ketua DPC Partai Gerindra Pandeglang, Asep Mulyadi, membenarkan apa yang diungkapkan Ucu saat ditemui di kediamannya di Komplek Pesantren Riyadhul Alfiyah, Kadu Kaweng, Pandeglang (18/08). Menurut Asep, pihaknya selaku partai pendukung selama ini merasa didiamkan oleh timses Edi-April.

“selama ini kami merasa didiamkan. Terus terang kami tidak tahu harus melangkah seperti apa, sementara komunikasi berjalan tidak efektif. Sementara Pemilukada semakin dekat. Bila kondisi ini berlarut, kami takkan ragu mencabut dukungan dan memilih tidak mendukung calon manapun.” Kata Asep.

Lebih lanjut Asep menyatakan bahwa, pihaknya mendapat teguran keras dari DPP Partai Gerindra terkait masalah ini. “DPP Partai Gerindra memantau konstelasi politik yang ada di Pandeglang. Bahkan kami juga sudah menerima surat dari pimpinan kami yang meminta kami tegas untuk menentukan sikap politik.” Terang Asep.

Dihubungi terpisah, Wakil Sekretaris DPC PBB Pandeglang, Bayu Kusumah, menganggap wajar jika parpol pengusung dan pendukung “Siap Bangkit” mengancam menarik dukungannya. Itu akibat tidak jelasnya komitmen antara parpol dengan pasangan Edi-April. Sehingga parpol sulit bergerak sebagaimana parpol pendukung pasangan lain.

“Benar kami juga melihat ada hal yang tidak beres, terutama pelaksanaan komitmen yang tidak jelas. Ini preseden buruk dan bukan mustahil pasangan Siap Bangkit akan ditinggalkan parpol dan mengalihkan dukungan ke calon lain.” Tegas Bayu.

Diinformasikan, pemilukada Pandeglang 2010 diikuti enam pasangan calon. Yaitu, Yoyon Sujana, SE dan M. Oyim, SE (Nomor urut 1). Edi Suhaedi, SH, MM. dan Hj. Apryliani H. Putri SE (Nomor urut 2). Drs.H.Djadjat Mudjahidin dan Ir.H.Endjat Sudrajat (Nomor urut 3). Sunarto, SE dan Agus Wahyu Wardana (Nomor Urut 4). Hj. Irna Narulita,SE,MM dan H. Apud Mahpud (Nomor Urut 5) dan Drs.H.Erwan Kurtubi,MM dan Hj.Heryani (Nomor Urut 6). ''LUCKY''

Rabu, 04 Agustus 2010

Polda Banten Diminta Transparan

Forum Kajian Sosial dan Budaya (Foksad) Banten minta Polda Banten transparan untuk menangani masalah dugaan unprosedural dalam tender alat kesehatan (alkes) tahun 2009 yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 44 miliar. Hal itu disampaikan Hafid ketika dengar pendapat dengan sejumlah pejabat Polda Banten di Aula Mapolda Banten, Rabu (4/8).
Pihaknya meminta hal ini karena berdasarkan bukti sebanyak 21 lembar yang diserahkan diduga terdapat indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 44 miliar. “Kami telah laporkan dan serahkan data-data sebagai bahan awal. Data tersebut lengkap. Polisi tinggal mengolah saja dengan memanggil pihak terkait.
Oleh karena itu diminta agar penyidik Polda Banten bertindak profesional dan independen mengusut kasus tersebut tanpa ada kepentingan dan campur tangan dari berbagai pihak. “Polisi merupakan institusi independen. Jadi sudah selayaknya dalam melakukan penyelidikan bekerja profesional dan sesuai  prosedur. Saya berharap tidak ada rekayasa dalam penyelesaian kasus ini,” kata Hafid.
Selain itu diminta tim penyidik lebih selangkah maju untuk memeriksa perusahaan yang terlibat dalam proses tender tersebut agar kasus ini tidak jalan di tempat. Dari 50 perusahaan minimal bisa dipanggil 15 perusahaan untuk dimintai keterangan untuk membuktikan ada tidak indikasi unprosedural dalam tender tersebut.
Dalam kesempatan itu, Hafid meminta agar kapolri untuk mengkaji kinerja Polda Banten. Jika dalam 3 X 30 hari kasus tersebut tidak selesai maka sebaiknya jabatan Kapolda Banten ditinjau ulang. “Penyelidik harus cepat bergerak. Selain memeriksa 4 saksi awal diharap memeriksa saksi lainnya untuk proses penyelidikan.
Menanggapi hal ini Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan menuturkan, audensi yang digelar pihaknya bersama Foksad merupakan bentuk transparansi pihaknya mengenai perkembangan kasus dugaan korupsi alkes. “Kami tranparan tentang penyelidikan dan tidak memainkan kasus tersebut.
Perkembangan kasus ini ini sendiri, kata AKBP Gunawan, masih dalam penyelidikan. Pihaknya masih mengumpulkan saksi dan melakukan pemanggilan untuk mengungkap kasus. “Kami masih mendalami kasus ini karena untuk membuktikan ada atau tidaknya kerugian negara harus lengkap. Misalnya hasil pemeriksaan, ada audit dari BPK, maupun lainnya. Kami tidak bisa menuduh seseorang tanpa ada bukti.)*

Kamis, 22 Juli 2010

Kondisi Umum Masyarakat Dan Dampak Kemiskinan

Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Bapenas [2006] mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat "signifikan." Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan "Nasi Aking." 
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup "fantastis" mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini.

Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.

Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen].

Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK [Putus Hubungan Kerja].

Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.

Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.

Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan "pemiskinan struktural" terhadap rakyatnya.

Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.

Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.

Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan "keamanan" dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.

Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan.

Musuh Utama Bangsa

Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo] belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata.

Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "buttom-up intervention" dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur].

Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
 
Paradigma Pembangunan

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas kuncinya harus ada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar. Tetapi, juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.

Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri. Sebaliknya keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.

Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara. Mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.....)***

Efektifkah Program Pengurangan Kemiskinan Pemerintah

Kemiskinan akan membuat setiap orang kelaparan. Kemiskinan juga menciptakan kebodohan. Kelaparan dan kebodohan akan menyebabkan orang sulit untuk berusaha dan beraktivitas sehingga terciptalah pengangguran. Tingkat pengangguran yang tinggi menyebabkan kekerasan dan kejahatan. Kekerasan dan kejahatan itu pun akan kembali menjadi kemiskinan. Siklus ini terus menerus berputar menjadi lingkaran setan.

Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan dan menghentikan lingkaran setan ini? Solusinya adalah pemerintah harus mampu mengurangi tingkat kemiskinan dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang efektif. Sehingga, masyarakat kita tidak terus menerus hidup dalam kemiskinan dan kelemahan dan mampu menjadi bangsa yang besar. Tentu saja setiap programnya harus menciptakan masyarakat yang mandiri, kreatif, dan produktif.

Tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 14%. Angka ini hampir sama dengan tingkat kemiskinan yang diproyeksikan pemerintah sebelumnya sebesar 12-14%.

Deputi Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan UKM Bappenas Prasetijono Widjojo MJ menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan. Di antaranya adalah tingkat inflasi, angka pengangguran, dan krisis ekonomi global.

Tingkat inflasi sebesar 7% pada tahun 2009 dapat mempercepat penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia. Angka pengangguran di Indonesia meningkat pada tahun 2009 padahal sebelumnya sekitar 7-8%. Pada tahun 2009 angka pengangguran di atas 8%.

Penurunan angka penggangguran juga akan diiringi dengan penurun tingkat kemiskinan. Sedangkan krisis ekonomi global yang terjadi pada 2009 lalu akan memperlambat pembangunan infrastruktur di Indonesia dan meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Krisis ekonomi global membuat lebih dari 60 juta orang di Asia terjebak dalam kemiskinan absolut di tahun 2009 dan diperkirakan akan semakin meningkat menjadi hampir 100 juta orang di tahun 2010.   

Pemerintah telah merencanakan beberapa program untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Baik berupa bantuan sosial, perbaikan infrastruktur, dan penguatan Usaha Kecil Mikro dan menengah (UMKM). 

Sebelumnya pemerintah menerapkan bantuan beras untuk mayarakat miskin dan JPS (Jaringan Pengaman Sosial) bagi masyarakat hanya saja belum cukup efektif untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Ada beberapa kekurangan dari program ini. Penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada bantuan bagi masyarakat miskin sifatnya bukan pemberdayaan dan hanya akan membuat rakyat semakin tidak mandiri sehingga bergantung kepada pemerintah. 

Selain itu program yang berorientasi bantuan justru dapat merusak moral dan perilaku masyarakat miskin. Apakah kita mau bangsa kita terus dirongrong dengan kemiskinan dengan masyarakatnya yang "manja"? Jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin atau yang lebih dikenal sebagai Askeskin (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) dan pemberian bantuan pendidikan berupa BOS (Bantuan Operasioanal Pendidikan) juga BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) adalah program perbaikan yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan.

Sebenarnya tujuan kedua program tersebut sudah baik. Pemerintah memberikan bantuan yang sifatnya lebih merupakan peningkatan sumber daya manusia dibandingkan berupa bantuan sosial. Misalnya saja BOS dan BOP pemerintah memberikan keringanan bagi masyarakat (tidak hanya masyarakat miskin) untuk sekolah gratis sampai SMP.

Begitu pula dengan Askeskin. Rakyat miskin memperoleh fasilitas kesehatan gratis di puskesmas. Hanya saja apakah pelaksaannya sudah cukup efektif? 

Pada tahun 2008 ICW menyebutkan bahwa pada tiga tahun belakangan ini mereka mendapat laporan penyelewengan dana BOS dan BOP. Terdapat indikasi korupsi pada pelaksanaaanya seperti 62.85% sekolah tidak mencantumkan penerimaan BOS, 4.12% sekolah tidak mengratiskan biaya operasional sekolah pada siswa didiknya. Buku dana BOS buku sebesar Rp562.4 juta tidak sesuai dengan buku panduan BOS (indikasi korupsi) dan senilai Rp656.7 juta belum atau tidak dapat dimanfaatkan. 

Perbaikan infrastruktur difasilitasi oleh pemerintah melalui PNPM mandiri maupun penguatan UMKM adalah bantuan yang sifatnya lebih merupakan pemberdayaan. PNPM melibatkan unsur masyarakat. Baik dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. 

Melalui proses pembangunan partisipatif kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga masyarakat miskin bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. Hanya saja lagi-lagi ditemukan beberapa penyelewengan. 

Pada tahun 2010 Pemerintah menyatakan ada penyelewengan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dilakukan di daerah-daerah. Penyelewengan telah dilakukan sejak tahun 2007 dan jumlahnya sudah mencapai Rp 100 miliar.

Seperti kita ketahui UMKM adalah usaha yang tidak terpengaruh akan dampak krisis ekonomi Asia yang terjadi pada tahun 1998. Menjamurnya UMKM akan mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia. Pengangguran erat hubungannya dengan tingkat kemiskinan. Berkurangnya pengangguran akan mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia.

Ketahanan akan krisis ekonomi dan penurunan tingkat pengangguran adalah pertimbangan pemerintah untuk melakukan penguatan UMKM. Tentu saja usaha ini adalah usaha solutif untuk menanggulangi kemiskinan. Namun, pada pelaksanaanya terdapat kendala. Baru 20-25% dana yang terserap untuk program ini karena terlalu banyaknya regulasi sehingga semua pihak ingin mengatur.

Program-program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan memiliki tujuan dan sistem yang baik. Hanya saja pada pelaksanaanya sering terjadi kendala. Baik karena korupsi maupun regulasi pemerintah itu sendiri. Oleh karena itu pemerintah harus merumuskan penyederhanaan dan perumusan kembali program-program tersebut. 

Selain itu juga perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan terpadu untuk menghindari korupsi maupun penyelewangan dalam penyaluran dana bantuan. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan pun harus berlangsung secara berkesinambungan sehingga muncul masyarakat yang makin mandiri kreatif, inovatif, dan produktif.....)***

Program Kemiskinan Belum Menyentuh

Jika kita perhatikan tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan terkait penyediaan infrastruktur baik yang dilakukan pemerintah, swasta, maupun lembaga donor, banyak ditemukan keterbengkalaian sarana yang merupakan indikator kegagalan program. Hal yang terlihat kasat mata adalah banyaknya sarana yang "mangkrak" atau tidak berfungsi. Baik di desa maupun perkotaan yang hanya meninggalkan bangunan tanpa pemanfaatan.

Jika kita amati, bangunan tersebut baik berupa pasar, posyandu, kantor desa, penampungan air, irigasi, sekolah, koperasi, dan sebagainya usianya terbilang pendek. Ada yang hanya dimanfaatkan tiga bulan, satu tahun, dan maksimal lima tahun. Padahal dalam perencanaannya pembangunan fasilitas sebagai akses penanggulangan kemiskinan didesain untuk aktivitas berkelanjutan.

Terdapat berbagai keluhan masyarakat terkait kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur. Mulai dari rendahnya penghasilan, kerusakan jalan, kesulitan air, kualitas kesehatan, gagal panen, dan sebagainya. 
Contoh lain di Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Pihak dinas kesehatan setempat mengungkapkan bahwa wilayahnya termasuk endemik disentri karena kebiasaan masyarakat buang air besar di kebun dan kolam ikan. Yang menjadi ironi ketika mengunjungi desa setempat terdapat bangunan MCK umum bantuan pemda setempat yang berumur kurang dari setahun tidak dimanfaatkan masyarakat. Malah ditumbuhi rerumputan dan nyaris roboh. Banyak lagi contoh kegagalan lain terkait upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berbagai pihak pada akhirnya hanya menyisakan bangunan fisik semata. Tanpa mengubah kemiskinan secara substansi. Tidak jarang program pemerintah, swasta, maupun donor hanya berjalan saat peresmian dan setelahnya tidak berkelanjutan. Kegagalan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada dasarnya disebabkan paradigma keliru, yang mengedepankan pendekatan fisik, bukan pembangunan yang berpusat pada manusia.  

Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia
Terdapat perbedaan antara program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pembangunan sarana atau fasilitas fisik dengan pendekatan penanggulangan kemiskinan berpusat pada manusia. Pendekatan pembanguan sosial lebih memfokuskan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universalistik.

Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada orang-orang yang membutuhkan (needy individuals). Akan tetapi lebih memfokuskan pada mereka (komunitas) yang ditelantarkan oleh pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini. Seperti kelompok miskin yang ada di perkotaan dan pedesaan serta kelompok minoritas.Pendekatan pembangunan sosial merupakan koreksi terhadap kecenderungan pembanguan yang berfokus pada sektor ekonomi dan fisik semata. 
Hal itu tidak berarti bahwa proses pembangunan sosial akan meninggalkan proses pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik. Justru upaya pembangunan sosial, baik langsung maupun tidak langsung, harus tetap memperhatikan dan melibatkan aspek pembangunan fisik dan ekonomi (Adi, 2008).

Sebagai contoh untuk mengembangkan pola hidup sehat pada masyarakat setidaknya harus tersedia sarana dan prasarana terkait aspek fisik. Seperti penyediaan air bersih, saluran pembuangan, tempat sampah, fasilitas MCK, serta perangkat pembersih terkait personal hygiene (seperti sabun, odol, dan handuk). Selain itu, tidak hanya aspek fisik terkait MCK yang diperhatikan, hal yang tidak kalah penting adalah upaya memasyarakatkan pola hidup sehat.

Tidak akan berarti adanya MCK tanpa disertai peningkatan pengetahunan masyarakat mengenai kesehatan, penggunaan MCK, penggunaan personal higine, serta rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas MCK. Karena sering sekali kita jumpai MCK yang berada pada daerah kumuh baik di perdesaan maupun perkotaan pada akhirnya terbengkalai tidak digunakan oleh masyarakat. Karena, tidak disertai proses penyadaran terhadap pentingnya penggunaan dan pemeliharaan fasilitas.

Intervensi yang dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan sosial sesuai contoh di atas antara lain diarahkan pada munculnya perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude), dan niat individu (intention). Urutan perubahan dari aspek pengetahuan hingga niat individu merupakan proses penyadaran terhadap kelompok sasaran dalam kerangka pembangunan sosial. Sehingga, ketika seorang community worker ingin mengubah perilaku kelompok masyarakat terkait personal higine (perawatan kesehatan diri) harus diterapkan bersamaan dengan pembangunan fisik.

Jika hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinan tujuan program penanggulangan kemiskinan akan berkelanjutan, dan sarana fisik terpelihara, karena di dalamnya tumbuh partisipasi dan kesadaran masyarakat. Dengan demikian tidak akan ada lagi fasilitas sebagai akses yang diharapkan berdampak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan hanya sekedar menjadi "fosil" yang nyaris tidak membawa kebermanfaatan apa pun...)***

Selasa, 20 Juli 2010

Pertumbuhan Penduduk dan Penyediaan Pangan

Persoalan persaingan antara pertumbuhan penduduk dan produksi pangan telah menjadi perhatian cendekiawan sejak dua abad lalu. Hal ini merupakan agenda yang sangat serius karena menentukan keberlangsungan hidup umat manusia.

Thomas Robert Malthus tahun 1798 telah mempredikasi bahwa dunia akan menghadapi ancaman karena ketidakmampuan penyediaan pangan memadai bagi penduduknya. Teori Malthus ringkasnya menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan.

Setelah sekian lama berlalu dengan berbagai dinamika inovasi teknologi pangan dan pengendalian penduduk, ekonom terkemuka Jeffrey D Sach (Scientific American, 2008) masih mengajukan pertanyaan besar apakah benar kita telah mengalahkan Perangkap Malthus? Waktu dua abad pun belum bisa meyakinkan kita akan jawaban tersebut.

Penduduk dan Kebutuhan Pangan

Jumlah penduduk dunia senantiasa tumbuh. US Census Bureau memperkirakan tahun 2010 penduduk di Asia Pasific saja mencapai 4 miliar. India dan China menyumbang lebih dari 2 miliar. Indonesia juga berkontribusi besar dengan jumlah penduduk yang mendekati seperempat miliar jiwa.

Penduduk Indonesia tumbuh pesat. Tahun 1900 jumlahnya masih sekitar 40 juta. Peningkatan penduduk berdasar periode yaitu 120 juta (1970),  147 juta (1980), 179 juta (1990), dan mencapai 206 juta (2000). Angka terbaru penduduk telah mencapai 225 juta (2007). Dalam 40 tahun terakhir penduduk telah bertambah lebih dari 100 juta jiwa. Sebuah peningkatan yang fantastis (BPS, 2009).

Indonesia dipandang cukup sukses dalam implementasi program keluarga berencana (KB) yang diintroduksi sejak 1968. Secara nasional tingkat pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari 2,31 persen pada tahun 1970-an menjadi 1,49 persen tahun 2000-an.

Angka pertumbuhan penduduk yang telah dicapai tersebut dipandang masih belum cukup jika dikaitkan dengan total penduduk nasional. Selain itu, pasca reformasi dan implementasi otonomi daerah, kebijakan program KB berada dalam otoritas daerah.

Pada banyak kasus cenderung mengalami stagnasi bahkan menurun karena rendahnya concern birokrasi dan legislasi lokal pada masalah kependudukan. Jika hal ini terabaikan maka bukan tidak mungkin gejala ledakan penduduk akan terjadi dan berdampak sosial ekonomi yang lebih rumit dan membahayakan.

Menggunakan pendekatan pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir (1990-2000) sebesar 1,49 persen (BPS, 2009), dan data terakhir kependudukan tahun 2007 sebesar 225 juta jiwa, secara sederhana dapat dikalkulasi bahwa setiap tahun ada penambahan penduduk 3,35 juta jiwa.

Besarnya jumlah penduduk terkait langsung dengan penyediaan pangan. Konsumsi pangan utama sumber karbohidrat adalah beras. Sebagaimana dilaporkan Pasandaran, sejak tahun 1970-1990 konsumsi beras per kapita per tahun meningkat nyata yaitu 109 kg (1970), 122 kg (1980)  menjadi 149 kg (1990). Meskipun setelah tahun 1990, komsumsi beras sedikit menurun namun dipandang masih cukup besar yaitu 114 kg/ orang/ tahun pada tahun 2000 (BPS). Rerata konsumsi per kapita ini merupakan yang terbesar di dunia.

Ketidakmampuan menyediakan pangan pokok yang ditandai dengan besarnya impor beras beberapa saat lalu menjadi pertanda yang serius bagi kita agar memiliki perhatian pada persoalan kependudukan dan penyediaan pangan.

Produksi Pangan dan Persoalannya

Pertumbuhan penduduk yang pesat menuntut pemenuhan pangan yang sangat besar. US Census Bureau mencatat kebutuhan pangan biji-bijian (beras dan jagung) di Asia akan meningkat pesat dari 344 juta ton tahun 1997 menjadi 557 juta ton tahun 2020. Kontribusi China dan India sebesar 26 dan 12 persen.

Persoalan krisis pangan dunia yang ditandai kelangkaan pangan dan melonjaknya harga pangan di pasar internasional tahun 2008. Salah satunya disebabkan karena membumbungnya permintaan pangan oleh kekuatan ekonomi baru China dan India dengan penduduk masing-masing 1 miliar jiwa.

Dalam konteks Indonesia produksi pangan yang mampu menjamin kebutuhan penduduk merupakan persoalan yang serius. Meskipun selama 2 tahun terakhir dilaporkan swasembada beras dapat dicapai kembali. Namun, untuk jangka panjang masih menjadi pertanyaan besar.

Salah satu solusi dalam peningkatan produksi pangan adalah peningkatan areal dan  produktivitas. Meskipun hal tersebut telah dilakukan dengan berbagai strategi namun data menunjukkan masih jauh dari cukup. Selama 5 tahun terakhir (2004-2008), areal panen padi hanya meningkat 0,47 juta ha dengan komposisi 11,92 juta ha tahun 2004 menjadi 12,39 juta ha tahun 2008. Dari segi produktivitas mengalami peningkatan 0,32 ton/ ha dengan komposisi 4,54 ton/ha tahun 2004 dan 4,86 ton/ha tahun 2008.

Dengan prediksi jumlah penduduk 300 juta tahun 2015, kebutuhan beras akan membacapi 80-90 ton/ tahun. Menggunakan asumsi luas panen yang tidak akan banyak berubah dari angka 12 juta ha/ tahun, maka solusinya pada tuntutan produktivitas hingga 10 ton/ ha.

Hal tersebut hampir dipastikan sebuah mission impossible. Sejarah produksi beras dunia mencatat bahwa negara yang memiliki sejarah dan tradisi produksi beras paling panjang dan teknologi paling hebat seperti Jepang, Taiwan, Korea, dan China hanya mampu memproduksi beras di lahan petani secara stabil dalam skala lapangan paling tinggi 7 ton/ ha.

Agenda Masa Depan

Meskipun berbagai inovasi telah diciptakan perangkap Malthus masih tetap menghantui kita. Kemampuan kita secara terus menerus menyediakan pangan yang melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang waktu.

Program pengendalian penduduk diikuti program pendukung seperti layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan menjadi prasyarat dan prioritas. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi dan juga membangun partnership dengan kalangan swasta dan korporasi terkait dengan hal ini.

Penciptaan lahan baru perlu didorong terutama untuk daerah yang layak dan potensial. Program ini tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena kendala sosial, teknis, dan biaya. Solusi lainnya adalah mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering.

World Bank (2003) mendata lahan kering di Indonesia sebesar sekitar 24 juta ha. Lahan tersebut sangat potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan.

Diversifikasi pangan menjadi salah satu kata kunci. Bahan pangan non-padi yang bisa diproduksi dari lahan kering non-sawah sangat potensial untuk dikembangkan dan dikampanyekan terus menerus kepada publik.

Penelitian, pengkajian, dan penyebarluasan melalui penyuluhan akan teknologi produksi baru seperti benih yang memiliki produktivitas tinggi, tahan terhadap kekurangan air, dan goncangan cuaca ekstrim mutlak diupayakan. Program pengendalian alih fungsi lahan pertanian utamanya sawah sangat mendesak dilakukan. Beberapa laporan mengindikasikan bahwa selama 20 tahun terakhir kita telah kehilangan 1 juta ha sawah subur di Jawa karena alih fungsi lahan....)***

KEJUJURAN SENSUS

Tepat di tanggal 1 Mei 2010 Biro Pusat Statistik melalui Petugas Pencacah Lapangan telah  melakukan Penelusuran Wilayah di daerah. Selayaknya menjadi perhatian dan dimonitor masyarakat dan rakyat benar-benar mendapatkan info dari pelaksanaan kegiatan ini.

Dalam proses ini masyarakat harus jangan segan-segan memberikan informasi kependudukan yang sesungguhnya. Kalau memang punya pekerjaan katakan sejujurnya. Kalau pengangguran, tidak punya pekerjaan tetap, korban PHK, seorang sarjana tapi tidak bekerja, pedagang keliling, tinggal di rumah kontrakan atau numpang di rumah keluarga, dan lain-lain katakan apa adanya. Jangan status pekerjaan tukang baso tapi menginfokan atau minta ditulis status pekerjaan "swasta".

Hati-hati. Ini istilah umum yang bisa membuat kita dianggap bekerja sebagai "pegawai swasta". Begitu juga sebaliknya. Yang punya jabatan tinggi dan punya rumah banyak, dan lain-lain, katakan sejujurnya. Ini penting bagi akurasi data kependudukan terkait kondisi ekonomi penduduk yang sesungguhnya.

Hasil data-data ini pun sungguh sangat berguna bagi kita semua dalam pelaksanaan kegiatan bernegara. Data-data ini jangan sampai dimanipulasi oleh siapa pun.

Akuratnya data kependudukan termasuk dalam hal data kondisi perekonomian penduduk akan wajib hukumnya menjadi dasar nantinya dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang terkait kepentingan publik/ masyarakat banyak di wilayahnya. Antara lain misalnya untuk kebijakan soal pajak.

Tidak hanya dimiliki pemerintahan saja. Perlu kiranya data-data hasil sensus penduduk tadi dimiliki juga oleh para wakil-wakil rakyat kita sebagai pedoman dalam tugasnya yang mengemban suara dan aspirasi rakyat walau  pada akhirnya rakyat juga akan mendapatkan publikasi atas hasil sensus penduduk ini.

Aneh saat penyelenggara negara/ pemerintahan disorot banyak korupsi tapi program naik gaji (PNS) tetap saja. Padahal, kinerjanya belum tentu semua bagus dan setiap hari kita disuguhkan berita tentang korupsi/ KKN terjadi silih berganti di lingkungan penyelenggara negara / pemerintahan. 

Karena, anggaran negara untuk katagori pengeluaran gaji penyelenggara negara dan elemenya jumlahnya tidak sedikit. Maka kita haruslah sangat berharap semoga hasil sensus penduduk 2010 memberikan gambaran sesungguhnya tentang keadaan penduduk di suatu wilayah.

Jika nantinya terpaparkan fakta keadaan di mana lebih banyak rakyat dalam keadaan kesulitan ekonomi, pengangguran, atau berpenghasilan pas-pasan di suatu daerah dan dari padanya maka tidak selalu dapat dijadikan sebagai sebuah potensi pajak maupun sebagai potensi pendapatan asli daerah. Maka wajar juga perlu mengedapankan untuk pengenaan pajak yang tinggi terhadap: pejabat pemerintahan, penyelenggara negara, anggota parlemen, dan orang kaya atau pengusaha kaya.

Jangan kreatif menciptakan bentuk-bentuk pajak yang hanya malah bisa memberatkan rakyat (apalagi yang berekonomi lemah dan hidup pas-pasan). Terlebih kini pajak juga disorot karena kasus dikorupsi dan pajak ini harus menjadi perhatian dan dikritisi oleh masyarakat dalam hal penggunaannya.

Apakah sudah benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Serta alokasi dana-dana dari pusat yang disalurkan lewat pemerintahan daerah dalam rangka program-program untuk kesejahteraan rakyat, informasinya dan pelaksanaannya juga harus diketahui seluruh masyarakat di daerahnya.

Jangan pula sensus penduduk 2010 ini hanya dilakukan demi tertib administrasi kependudukan. Atau untuk akurasi data terkait kepentingan pemilu atau pilkada. Tapi, giliran untuk akurasi keadaan ekonomi penduduk data pengangguran dan data kemiskinan malah diabaikan dan tidak disoroti.  

Masyarakat jangan hanya saat mau pemilu atau pilkada bersemangat mendukung calonnya dan rela berbondong-bondong mau konvoi turun ke jalan atau demo turun ke jalan jika calonnya gagal menjadi bakal calon. Atau tidak terpilih dalam pemilihan. Tapi, masyarakat juga harus mau menyoroti dan bersikap tegas kepada wakil rakyat dan pejabat pemerintahan yang mereka pilih dan telah mewakili mereka. Jika ternyata para wakil rakyat dan pejabat pemerintahan ini tidak peka dengan masalah akurasi data ekonomi kependudukan dalam rangka sensus penduduk ini....)*

Benarkah Dunia Telah Mengalami OVER POPULASI?

Tanggal 29 Juni lalu diperingati sebagai hari Keluarga Nasional (Harganas). Konon pada tanggal itulah dimulai Gerakan Keluarga Berencana (KB) Tahun 1970. Penggalakan program KB ini dilatarbelakangi oleh pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Bahkan, dunia. Pada September 2008 populasi dunia telah terhitung sekitar 6.72 miliar jiwa dan diperkirakan populasi dunia pada 2050 akan mencapai 9 miliar jiwa.

Besarnya populasi dianggap telah menimbulkan ketimpangan global karena sumber daya alam (SDA) yang ada tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia. Hal inilah yang dituduh sebagai penyebab kemiskinan, kehancuran lingkungan, dan kerawanan sosial.

Perekonomian di dunia ketiga dipandang mustahil dapat berkembang selama pertumbuhan penduduknya tidak ditekan. Namun, benarkah dunia telah mengalami OVER POPULASI? Juga benarkah besarnya jumlah penduduk yang menghambat kemajuan ekonomi dan menyebabkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga?

Jika benar logika yang menyatakan "besarnya jumlah penduduk menghambat kemajuan ekonomi" maka seharusnya China adalah negara paling terbelakang. Karena, menurut Internasional Data Base  (IDB), lima negara dengan jumlah penduduk terbesar berturut-turut adalah China, India, Amerika Serikan (AS), Indonesia, dan Brazil.

Tetapi, masyarakat dunia pun tahu bahwa saat ini, dengan jumlah penduduknya yang sangat besar itu pun China tetap menjadi negara maju dan terdepan dalam perekonomian. Demikian pula dengan India dan USA. Namun, sebaliknya, banyak wilayah dengan jumlah penduduk kecil, wilayah luas, dan SDA yang melimpah tetapi terbelakang, miskin, bahkan kelaparan. Contoh paling dekat adalah Papua.

Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya isu over populasi adalah isu yang sengaja digulirkan sebagai bagian dari agenda politik negara-negara imperialis-kapitalis. Dengan menggulirkan isu tersebut mereka berusaha untuk menutupi penyebab terjadinya bencana global - kelaparan, kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, dan sebagainya - yang sebenarnya; yaitu karena kerakusan ideologi Kapitalisme Barat.

AS, misalnya, hanya memproduksi 8% minyak bumi, namun mengkonsumsi 25% jumlah minyak bumi yang ada di dunia. Jumlah penduduk Barat hanya sekitar 20% dari populasi dunia, namun menghabiskan 80% dari produksi pangan dunia. Di sisi lain, isu ini dijadikan alat untuk menjelek-jelekkan negara-negara dengan pertumbuhan penduduk yang besar (baca: negeri-negeri Muslim) dan pada saat yang sama mengurangi risiko berkurangnya pengaruh negara-negara maju di masa datang.

Negara-negara dengan pertumbuhan penduduk yang besar tentu harus sadar terhadap konspirasi ini. Sebab, jumlah penduduk yang besar adalah modal potensial untuk membangun SDM yang tangguh dan akan memimpin dunia. Lagi pula banyaknya jumlah penduduk di dunia tidak akan menjadi masalah berarti. Sebab, pada dasarnya Allah SWT menjamin ketersediaan SDA ini untuk menopang kehidupan manusia sampai Hari Kiamat.)*

Kamis, 08 Juli 2010

---------- Doa Untuk Kekasih ---------

Ya Allah….
Seandainya telah engkau catatkan… 
Dia milikku tercipta buatku… 
Satukanlah hatinya dengan hatiku… 
Titipkanlah kebahagian antara kami…. agar kemesraan itu abadi… 

Dan ya Allah… ya tuhanku yang maha mengasihi… 
Seiringkanlah kami melayari hidup ini… 
Ketepian yang sejahtera dan abadi…

Tetapi ya Allah… 
Seandainya telah engkau takdirkan…. dia bukan miliku… 
Bawalah ia jauh dari pandanganku…. Luputkanlah ia dari ingatanku… Dan peliharalah aku dari kekecewaan….

Serta ya Allah ya tuhanku yang maha mengerti….
Berikanlah aku kekuatan… 
Melontar bayangannya jauh ke dada langit… 
Hilang bersama senja nan merah.. agarku bisa bahagia… 
Walaupun tanpa bersama dengannya…

Dan ya Allah yang tercinta… 
Gantillah yang telah hilang…. 
Tumbuhkanlah kembali yang telah patah… 
Walaupun tidak sama dengan dirinya…
Ya Allah ya tuhanku… 
Pasrahkanlah aku dengan takdirmu… 
Sesungguhnya apa yang telah engkau takdirkan… 
Adalah yang terbaik buat ku…. kerana engkau maha mengetahui… 
Segala yang terbaik buat hamba Mu ini…

Ya Allah… 
Cukuplah engkau sahaja yang menjadi pemeliharaku… 
Di dunia dan di akhirat… 
Dengarlah rintihan dari hamba Mu yang daif ini… Jangan engkau biarkan aku sendirian… 
Di dunia ini mahupun di akhirat… 
Menjuruskan aku kearah kemaksiatan dan kemungkaran… 
Maka kurniakanlah aku seorang pasangan yang beriman… 
Supaya aku dan dia sama2 dapat membina Kesejahteraan hidup… Ke jalan yang Engkau redhai… dan kurniakanlah padaku keturunan yang soleh….
 
Amin.. Ya Rabbal Alamin....***
 
 
-----------------  JULY 2010 ----------------