Berbagai permasalahan yang menggelayuti bangsa kita dari mulai korupsi, lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, lemahnya daya saing, hingga degradasi moral seakan terus mengikis rasa bangga kita pada Indonesia. Proses memudarnya identitas nasional juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kini life style ala Barat yang materialistik menjadi sesuatu yang digandrungi oleh muda-mudi kita. Seakan kehilangan identitas sebagai bangsa relijius yang menjunjung etika ketimuran. Bahkan, angka hubungan seks di luar nikah di Indonesia mencapai 40-45%(BKKN).
Wacana-wacana negatif di atas seakan menggoyahkan rasa nasionalisme kita sebagai insan yang terlanjur memiliki identitas sebagai putra-putri Bumi Pertiwi Putra-putri Indonesia. Adakah 65 tahun kemerdekaan telah benar-benar menghilangkan ungkapan "aku malu menjadi bangsa Indonesia".
Nasionalisme sangat penting bagi suatu bangsa agar bisa survive dalam percaturan global. Nasionalisme akan menjaga kedaulatan dalam satu identitas bersama. Nasionalisme juga berperan sebagai inspirasi yang menjadi motivasi bagi individu bangsa secara kolektif untuk berprestasi. Dalam iklim persaingan kapitalistik ditingkat global nasionalisme merupakan modal untuk membangun harga diri yang pada gilirannya akan membangun bargaining position yang kuat dalam persaingan.
Membangun rasa nasionalisme menjadi mendesak di tengah persaingan global yang datang menjamah dari kiri dan kanan, depan dan belakang, serta di tengah identitas nasional yang semakin tergerus. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah nasionalisme seperti apa yang dibutuhkan untuk dibangun "ke mana arahnya". Mau dibawa ke mana?
Menurut Sulfikar Amir Pengajar Sosiologi di Universitas Nanyang Singapura nasionalisme Indonesia masih berbentuk sebagai nasionalisme yang "menghadap ke belakang" bukan "menghadap ke depan". Artinya nasionalisme kita masih berbentuk mitos-mitos tentang superioritas yang "terinstitusionalisasi". Nasionalisme merupakan khayalan-khayalan yang digunakan penguasa untuk memobilisasi massa untuk kepentingan politik dalam bentuk kooptasi-kooptasi. Hal ini terlihat kental di masa Orde Baru.
Nasionalisme harus diubah menjadi future oriented. Nasionalisme yang menghadap ke depan di mana materi nasionalisme bukan sekedar utopia-utopia yang dibumbui cerita sejarah tentang kejayaan Kerajaan Majapahit misalnya. Namun, nasionalisme harus menjelma menjadi semangat visioner yang menginterpretasikan Indonesia sebagai negara bangsa yang hidup di dunia modern. Memandang Indonesia sebagai "land of promise" bukan sekedar "land of legacy". Berpindah dari Nasionalisme Simbolik ke Nasionalisme Substantif.
Maraknya gerakan untuk memakai batik di kalangan kawula muda, pertunjukan kolaborasi angklung dengan musik modern, marahnya masyarakat akibat sabotase negri jiran atas tari pendet tentu merupakana hal-hal yang patut disyukuri. Namun, pengejawantahan nasionalisme belum berhenti dalam hal-hal yang sifatnya simbolik itu.
Nasionalisme harus diejawantahkan dalam bentuk yang lebih substantif. Nasionalisme sebagai sebuah konsep yang sifatnya abstrak harus ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih konkrit yaitu kesejahteraan yang adil dan tidak bersifat semu.
Dalam proses transformasi itu nasionalisme akan berhadapan dengan tantangan-tantangan. Dalam memandang nasionalisme dengan cetakan menghadap ke depan maka nasionalisme kini ditantang
oleh isu-isu global dan domestik.
Tantangan Aktual Nasionalisme
Di tingkat global kita ditantang oleh perdagangan bebas. Global trade menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" merupakan sebuah keniscayaan yang tidak satu pun bangsa di dunia dapat lari darinya. Yang bisa dilakukan adalah terlibat di dalamnya mengambil keuntungan dari dalamnya dengan melakukan pengakalan-pengakalan untuk meminimalisir resiko-resikonya.
Pengakalan-pengakalan itu biasanya dalam bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi serta inisiasi-inisiasi untuk menstimulus aksi dari pelaku usaha untuk beradaptasi dengan persaingan. Negara yang tidak sanggup beradaptasi dengan globalisasi akan menjadi korban dari penjajahan ekonomi negara-negara maju. Pada titik ini membangun nasionalisme pada individu bangsa akan menjadi seperti menegakan benang basah.
Hendri Saparini merupakan salah satu ekonom mengkampanyekan ekonomi konstitusi sebagai solusi menghadapi persaingan global. Menurutnya ekonomi bangsa harus dikembalikan kepada spirit pancasila dan konstitusi kita di mana arahnya adalah pro kesejahteraan rakyat dan bukan pro liberalisasi dan pasar tanpa berfokus pada keadilan.
Pembangunan ekonomi akan berdampak pada perbaikan sendi-sendi lain yang akan menjawab tantangan-tantangan nasionalisme yang lain. Di antaranya adalah separatisme dan ancaman gerakan subversif. Dua hal itu merupakan isu yang cukup hangat belakangan ini. Upaya deradikalisasi yang sifatnya sosiologis dan penindakan terhadap terorisme dengan menggunakan senjata untuk membungkam terorisme harus didukung pula dengan peningkatan kesejahteraan.
Apabila negara telah menjamin kesejahteraan rakyatnya peluang menyebarnya ideologi radikal akan mengecil. Terorisme bisa jadi lebih merupakan ekses dari frustasi masyarakat kelas bawah atas kegagalan sistem yang ada memenuhi hajat hidup mereka.
Seorang pengamat terorisme Barat mengatakan jika Indonesia ingin melakukan deradikalisasi jalannya adalah justru dengan memberi ruang kepada elemen-elemen radikal itu mengungkapkan gagasannya. Demokrasi yang kini dibangun menurutnya masih belum mewadahi aspirasi dari semua elemen.
Dengan sendirinya akan terbangun simpati dari kelompok radikal terhadap pemerintah sebagai penggerak sistem yang ada sehingga dengan komunikasi yang terbangun radikalisasi akan teredam. Dengan adanya akomodasi yang proporsional akan membawa elemen-elemen yang ingin mengubah sistem menjalankan aksinya melalui jalan yang sesuai dengan konstitusi.
Di antara tantangan domestik lain yang berpotensi merongrong nasionalisme yang sekarang ini sedang hangat adalah mengenai kebhinekaan. Harus diakui takdir kita untuk hidup dalam negara multiagama, multietnis, dan beragam adat istiadat ini cukup merepotkan kita untuk mengharmonisasikannya. Seperti sebuah ungkapan "sering kali bukan masalah benar dan salah kita bertengkar, namun hanya karena kita berbeda kita berselisih".
Nasionalisme kita ditantang sejauh mana dapat mengatasi pelbagai perbedaan yang ada itu. Bisakah Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat lebih tangguh untuk mewarnai sendi-sendi hidup kita dan meredam semua konflik? Azyumardi Azra berupaya mencari jawaban untuk pertanyaan ini dengan gagasannya mengenai revitalisasi Pancasila.
Menurutnya Pancasila merupakan ideologi terbuka harus terus dikaji, didiskusikan, guna dapat beradaptasi dengan berbagai problema zaman. Pancasila bukan sebuah ideologi dogmatis yang absen dari pengkajian dan dibiarkan sebagai formalitas semata seperti yang terjadi sekarang.
Bangsa yang berdaulat dinilai juga dari sejauh mana ia dapat menjaga teritorinya dari disintegrasi maupun pencaplokan bangsa lain.Ini adalah tantangan nasionalisme yang lain. Ada sekitar 92 pulau terluar di Indonesia dan 12 di antaranya rawan memicu konflik. Kebijakan pertahanan kemanan Indonesia harus memberi perhatian lebih dalam penjagaan pulau terluar.
Membangun daerah-daerah perbatasan juga merupakan hal serius untuk mencegah potensi disintegrasi dan pencaplokan. Sesuatu yang menggembirakan bahwa di beberapa daerah perbatasan telah dibangun sarana-sarana pendidikan seperti fasilitas internet untuk meningkatkan pendidikan masyarakat setempat.
Membangun nasionalisme merupakan tugas yang sangat penting untuk menghadapi persaingan. Pembangunan nasionalisme substantif diarahkan pada isu-isu strategis dan urgen saat ini yaitu, membangun ekonomi nasionalisme yang sesuai konstitusi, memecahkan problem kebhinnekaan, merevitalisasi Pancasila untuk lebih membangun persatuan bangsa dan penjagaan pulau-pulau terluar untuk menjaga kedaulatan.
Ini tugas seluruh elemen bangsa. Belum terlambat.
Wacana-wacana negatif di atas seakan menggoyahkan rasa nasionalisme kita sebagai insan yang terlanjur memiliki identitas sebagai putra-putri Bumi Pertiwi Putra-putri Indonesia. Adakah 65 tahun kemerdekaan telah benar-benar menghilangkan ungkapan "aku malu menjadi bangsa Indonesia".
Nasionalisme sangat penting bagi suatu bangsa agar bisa survive dalam percaturan global. Nasionalisme akan menjaga kedaulatan dalam satu identitas bersama. Nasionalisme juga berperan sebagai inspirasi yang menjadi motivasi bagi individu bangsa secara kolektif untuk berprestasi. Dalam iklim persaingan kapitalistik ditingkat global nasionalisme merupakan modal untuk membangun harga diri yang pada gilirannya akan membangun bargaining position yang kuat dalam persaingan.
Membangun rasa nasionalisme menjadi mendesak di tengah persaingan global yang datang menjamah dari kiri dan kanan, depan dan belakang, serta di tengah identitas nasional yang semakin tergerus. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah nasionalisme seperti apa yang dibutuhkan untuk dibangun "ke mana arahnya". Mau dibawa ke mana?
Menurut Sulfikar Amir Pengajar Sosiologi di Universitas Nanyang Singapura nasionalisme Indonesia masih berbentuk sebagai nasionalisme yang "menghadap ke belakang" bukan "menghadap ke depan". Artinya nasionalisme kita masih berbentuk mitos-mitos tentang superioritas yang "terinstitusionalisasi". Nasionalisme merupakan khayalan-khayalan yang digunakan penguasa untuk memobilisasi massa untuk kepentingan politik dalam bentuk kooptasi-kooptasi. Hal ini terlihat kental di masa Orde Baru.
Nasionalisme harus diubah menjadi future oriented. Nasionalisme yang menghadap ke depan di mana materi nasionalisme bukan sekedar utopia-utopia yang dibumbui cerita sejarah tentang kejayaan Kerajaan Majapahit misalnya. Namun, nasionalisme harus menjelma menjadi semangat visioner yang menginterpretasikan Indonesia sebagai negara bangsa yang hidup di dunia modern. Memandang Indonesia sebagai "land of promise" bukan sekedar "land of legacy". Berpindah dari Nasionalisme Simbolik ke Nasionalisme Substantif.
Maraknya gerakan untuk memakai batik di kalangan kawula muda, pertunjukan kolaborasi angklung dengan musik modern, marahnya masyarakat akibat sabotase negri jiran atas tari pendet tentu merupakana hal-hal yang patut disyukuri. Namun, pengejawantahan nasionalisme belum berhenti dalam hal-hal yang sifatnya simbolik itu.
Nasionalisme harus diejawantahkan dalam bentuk yang lebih substantif. Nasionalisme sebagai sebuah konsep yang sifatnya abstrak harus ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih konkrit yaitu kesejahteraan yang adil dan tidak bersifat semu.
Dalam proses transformasi itu nasionalisme akan berhadapan dengan tantangan-tantangan. Dalam memandang nasionalisme dengan cetakan menghadap ke depan maka nasionalisme kini ditantang
oleh isu-isu global dan domestik.
Tantangan Aktual Nasionalisme
Di tingkat global kita ditantang oleh perdagangan bebas. Global trade menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" merupakan sebuah keniscayaan yang tidak satu pun bangsa di dunia dapat lari darinya. Yang bisa dilakukan adalah terlibat di dalamnya mengambil keuntungan dari dalamnya dengan melakukan pengakalan-pengakalan untuk meminimalisir resiko-resikonya.
Pengakalan-pengakalan itu biasanya dalam bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi serta inisiasi-inisiasi untuk menstimulus aksi dari pelaku usaha untuk beradaptasi dengan persaingan. Negara yang tidak sanggup beradaptasi dengan globalisasi akan menjadi korban dari penjajahan ekonomi negara-negara maju. Pada titik ini membangun nasionalisme pada individu bangsa akan menjadi seperti menegakan benang basah.
Hendri Saparini merupakan salah satu ekonom mengkampanyekan ekonomi konstitusi sebagai solusi menghadapi persaingan global. Menurutnya ekonomi bangsa harus dikembalikan kepada spirit pancasila dan konstitusi kita di mana arahnya adalah pro kesejahteraan rakyat dan bukan pro liberalisasi dan pasar tanpa berfokus pada keadilan.
Pembangunan ekonomi akan berdampak pada perbaikan sendi-sendi lain yang akan menjawab tantangan-tantangan nasionalisme yang lain. Di antaranya adalah separatisme dan ancaman gerakan subversif. Dua hal itu merupakan isu yang cukup hangat belakangan ini. Upaya deradikalisasi yang sifatnya sosiologis dan penindakan terhadap terorisme dengan menggunakan senjata untuk membungkam terorisme harus didukung pula dengan peningkatan kesejahteraan.
Apabila negara telah menjamin kesejahteraan rakyatnya peluang menyebarnya ideologi radikal akan mengecil. Terorisme bisa jadi lebih merupakan ekses dari frustasi masyarakat kelas bawah atas kegagalan sistem yang ada memenuhi hajat hidup mereka.
Seorang pengamat terorisme Barat mengatakan jika Indonesia ingin melakukan deradikalisasi jalannya adalah justru dengan memberi ruang kepada elemen-elemen radikal itu mengungkapkan gagasannya. Demokrasi yang kini dibangun menurutnya masih belum mewadahi aspirasi dari semua elemen.
Dengan sendirinya akan terbangun simpati dari kelompok radikal terhadap pemerintah sebagai penggerak sistem yang ada sehingga dengan komunikasi yang terbangun radikalisasi akan teredam. Dengan adanya akomodasi yang proporsional akan membawa elemen-elemen yang ingin mengubah sistem menjalankan aksinya melalui jalan yang sesuai dengan konstitusi.
Di antara tantangan domestik lain yang berpotensi merongrong nasionalisme yang sekarang ini sedang hangat adalah mengenai kebhinekaan. Harus diakui takdir kita untuk hidup dalam negara multiagama, multietnis, dan beragam adat istiadat ini cukup merepotkan kita untuk mengharmonisasikannya. Seperti sebuah ungkapan "sering kali bukan masalah benar dan salah kita bertengkar, namun hanya karena kita berbeda kita berselisih".
Nasionalisme kita ditantang sejauh mana dapat mengatasi pelbagai perbedaan yang ada itu. Bisakah Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat lebih tangguh untuk mewarnai sendi-sendi hidup kita dan meredam semua konflik? Azyumardi Azra berupaya mencari jawaban untuk pertanyaan ini dengan gagasannya mengenai revitalisasi Pancasila.
Menurutnya Pancasila merupakan ideologi terbuka harus terus dikaji, didiskusikan, guna dapat beradaptasi dengan berbagai problema zaman. Pancasila bukan sebuah ideologi dogmatis yang absen dari pengkajian dan dibiarkan sebagai formalitas semata seperti yang terjadi sekarang.
Bangsa yang berdaulat dinilai juga dari sejauh mana ia dapat menjaga teritorinya dari disintegrasi maupun pencaplokan bangsa lain.Ini adalah tantangan nasionalisme yang lain. Ada sekitar 92 pulau terluar di Indonesia dan 12 di antaranya rawan memicu konflik. Kebijakan pertahanan kemanan Indonesia harus memberi perhatian lebih dalam penjagaan pulau terluar.
Membangun daerah-daerah perbatasan juga merupakan hal serius untuk mencegah potensi disintegrasi dan pencaplokan. Sesuatu yang menggembirakan bahwa di beberapa daerah perbatasan telah dibangun sarana-sarana pendidikan seperti fasilitas internet untuk meningkatkan pendidikan masyarakat setempat.
Membangun nasionalisme merupakan tugas yang sangat penting untuk menghadapi persaingan. Pembangunan nasionalisme substantif diarahkan pada isu-isu strategis dan urgen saat ini yaitu, membangun ekonomi nasionalisme yang sesuai konstitusi, memecahkan problem kebhinnekaan, merevitalisasi Pancasila untuk lebih membangun persatuan bangsa dan penjagaan pulau-pulau terluar untuk menjaga kedaulatan.
Ini tugas seluruh elemen bangsa. Belum terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar