Kamis, 19 Agustus 2010

Tujuh Belas Agustus dan Reformasi.....

Tujuh Belas Agustus adalah tanggal bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Selalu ada perasaan campur aduk saat melaluinya. Bahkan, sekedar mendengar energi berbeda segera mengalir dalam tubuh. Peristiwa di tanggal itu adalah awal perjalanan panjang tanpa tahu batasnya bagi bangsa ini untuk merengkuh cita-citanya.

"Kemerdekaan" adalah kata, peristiwa, sifat, yang luar biasa. Jangankan bangsa. Bahkan, Tuhan mengutus Nabi dan RasulNya dengan misi untuk menjadikan manusia merdeka melalui PetunjukNya.

Pendiri bangsa ini adalah tokoh-tokoh hebat. Mereka sadar apa dan bagaimana merdeka dalam arti sesungguhnya. Mereka merumuskan pijakan dasar bangsa yang sangat visioner, Pancasila. Para pendiri bangsa tersebut telah pula mendeskripsikan secara ringkas tujuan dibentuknya Indonesia melalui Pembukaan UUD 45. Sungguh beruntung bangsa sebesar dan seberagam ini mempunyai para pendiri yang beriman, bervisi, dan
toleran.

Soekarno memulai kerja besar bangsa ini dengan meneguhkan jati diri bangsa secara fisik dan ideologis. Wilayah negara dan landasan berpikir dikonsolidasi. Dengan berbagai gejolak sebagai bangsa yang baru lahir dengan jangkauan kebhinekaan luar biasa Soekarno mati-matian menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa yang lahir pada 1945 ini.

Soeharto meneruskan langkah pendahulunya dengan cara berbeda. Ia memulai dan melakukannya dengan prinsip sederhana. Rakyat harus cukup makan. Tak heran pada 1984 Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya (beras) secara mandiri setelah merangkak dari negara pengimpor beras terbesar di dunia pada awal 1970-an.

Ia juga meyakini bahwa dengan industrialisasi maka bukan hanya pangan. Tapi, kebutuhan lain juga akan terpenuhi melalui penghasilan yang akan diperoleh dari hasil produksi.

Namun, kerja besar Soeharto berakhir serupa dengan Soekarno. Penolakan luas terjadi di seluruh negeri. Rakyat tak puas terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang bermuara pada runtuhnya sendi-sendi moral bangsa. Kemakmuran dibayar dengan kemerosotan akhlak yang masif. Tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan dari tingkat paling atas hingga terbawah.

"Reformasi" kemudian muncul sebagai "mantera" sebagaimana "Pancasila" pada masa Orde Baru. Ia menjanjikan dan memberikan mimpi, harapan, dan semangat indah. Merdeka dari kemiskinan, ketergantungan, penindasan. Kata reformasi digunakan sebagai latar belakang sambutan pejabat, dokumen kebijakan, dan berbagai naskah dalam pemerintahan.

Ia juga ditulis sebagai dasar dan tujuan yang wajib tercantum dalam kampanye pemilihan kepala daerah atau dewan perwakilan rakyat. Namun, setelah lebih dari satu dasawarsa, ia tetaplah sebuah kata yang tak bermakna dan kadangkala "menyebalkan" bagi sebagian rakyat negeri ini.

Ia adalah mantera yang tak mengubah "kodok" menjadi, paling tidak bocah, untuk tidak mengatakan "pangeran". Dan, akhirnya ia tak lebih dari jampi-jampi politik yang teronggok di dalam dokumen-dokumen resmi yang tak kunjung berujud sebagai kekuatan yang nyata.

Yang lebih menyedihkan mereka sebagian yang semestinya mewujudkan reformasi sebagai mesin pembebas bangsa justru tak jarang tak ingat lagi tentang amanat itu. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan kemudian lebih celaka ini dilakukan secara "berjamaah".

Bangsa ini seolah mengulang kesalahan yang sama. Jika di masa Orde Baru "jamaah" ini ibarat piramida yang berpusat di satu titik puncak. Maka di masa ini bentuknya berubah seperti piramida terpotong bagian atas yang jauh lebih lebar pada bagian bawahnya. Pusatnya tersebar namun daya jangkaunya makin luas. "The World is Flat" versi Indonesia.

Kemerdekaan akhirnya benar-benar mahal. Bahkan, sangat mahal. Ia hanya dapat dimiliki oleh mereka yang notabene memiliki kekuasaan ekonomi. Tanpa itu siapa pun harus bersiap untuk terjajah oleh kekurangan penghasilan, akses pendidikan yang baik, sarana kesehatan, apalagi hukum.

Bagaikan pungguk merindukan bulan. Kemerdekaan yang hakiki ternyata masihlah cita-cita. Ketergantungan dan ketakutan pada bangsa asing, kemiskinan, kekurangan pendidikan dan kesehatan, ketakberdayaan dalam hukum menjadikan bangsa ini pada dasarnya masih "terjajah".

Bila merdeka diibaratkan kibaran bendera di tiang yang tegak, maka tiang itu kini masih miring. Semua orang di negeri ini mengemban kewajiban menegakkannya. Kehormatan bagi anak bangsa saat ikut menopang dan menegakkan tiang itu. Meski mungkin saat ajal tiba tiang itu masih belum tegak. Insya Allah Tuhan akan menyambut dengan hamparan permadani ridla-nya.

Dan akhirnya di tengah perjuangan meraih kemerdekaan sejati tak ada salahnya kita menyambut hari "kemerdekaan" ini dengan memekikkan kata "MERDEKA". Semoga Tuhan mengabulkan harapan bangsa ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar