Beberapa minggu ini rakyat diajak untuk ikut emosi oleh beberapa persoalan. Pertama, persoalan terorisme yang sangat gencar diberitakan media dan kepolisian. Hampir setiap hari dan hampir semua stasiun televisi berlomba menayangkan berita dan analisa mengenai terorisme.
Rakyat diajak waspada. Rakyat diajak takut. Rakyat diajak membenci suatu obyek yang tidak mampu melakukan perlawanan opini. Karena, tidak pernah ada ruang untuk menjelaskan jati diri dan semua aksi yang telah terjadi. Yang lebih memprihatinkan adalah rakyat diajak curiga satu sama lainnya. Bahkan, korban telah terjadi. Ada warga yang diusir dari tempat tinggalnya oleh warga lain karena dituduh sebagai teroris.
Kegagalan polisi menyelesaikan aksi-aksi teror yang telah lama terjadi di negeri ini menyebabkan polisi bertindak ceroboh dan gegabah. Polisi memperluas permusuhannya. Bukan hanya kepada teroris. Tapi, juga kepada umat Islam dengan instruksi mengawasi setiap aktivitas dakwah yang ada dan mencurigai semua orang yang menggunakan atribut agama. Polisi juga telah mengajak rakyat mewaspadai hal-hal baik dan orang-orang baik. Yang pada ujungnya tidak mustahil polisi akan mengajak rakyat membenci kebaikan dan orang-orang baik.
Apa yang dilakukan aparat saat ini persis seperti yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru yang memusuhi kebaikan. Era 80-an ditandai dengan pelarangan muslimah mengenakan jilbab dan sempitnya ruang untuk berdakwah. Setiap ustad yang mau ceramah harus memiliki SIM alias Surat Izin Mubaligh.
Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu ditongkrongi polisi dan harus mendapat izin resmi. Negara pada saat itu juga mempertentangkan agama dan Pancasila yang melaksanakan agama dianggap tidak setia pada Pancasila. Semua harus turut dalam keseragaman yang disebut azaz tunggal. Negara seperti mengalami amnesia bahwa kata jihad dan teriakan Allohuakbarlah yang sesungguh telah mewarnai hari-hari perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
merdeka.
Persoalan kedua, adalah persoalan klaim budaya oleh Malaysia. Selama ini banyak atribut dan artifac budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia. Dari mulai batik, keris, wayang, reog Ponorogo, sampai terakhir tari pendet. Malaysia sendiri sudah mengklarifikasi dan mengatakan tidak pernah berniat mengklaim tari pendet sebagai budaya asli Malaysia. Justru Malaysia menjelaskan asal usul tari pendet yang berasal dari Bali itu.
Tapi, rakyat sudah terlanjur dilibatkan dan diajak untuk ikut emosi. Sehingga, meski mereka tidak pernah menonton film promosi budaya Malaysia yang tayang di Discovery Channel, dengan penuh percaya diri mereka turut dalam demonstrasi.
Persoalan ketiga, adalah persoalan tiga pulau yang dijual di Mentawai. Isu ini ternyata bukan hal baru. Sejak tahun 2005 sudah ada tujuh pulau termasuk di Karimunjawa dan Manggarai yang dijual. Pemerintah tahu mengenai penjualan ini. Namun, Pemerintah seolah tutup mata dan merasa tak berdaya dengan mengatakan penjualan terjadi karena pulau itu bukan milik pemerintah. Tetapi, milik warga dan warga yang telah menjualnya.
Dari persoalan-persoalan tersebut di atas efek positif yang muncul adalah rakyat disadarkan bahwa kita sesungguhnya benar-benar bangsa yang kaya. Bukan cuma kaya secara fisik, dengan keindahan alam, kesuburan tanah, kekayaan kandungan bumi, kekayaan isi lautan dan lain sebagainya, melainkan juga kaya akan budaya.
Efek positif lainnya adalah munculnya kecintaan pada bangsa dan semangat untuk membelanya. Saya yakin seluruh anak negeri bangkit kecintaannya pada Bumi Pertiwi dan bersemangat untuk membela Ibu Pertiwi ketika menyadari bahwa apa yang kita punya satu per satu sirna. Namun, persoalannya kita juga menjadi miris dan sakit hati. Karena, semua kekayaan kita selama ini tak bisa kita nikmati.
Bukan semata-mata sakit hati dengan bangsa asing yang mengakuisisi kekayaan alam kita, yang telah mengklaim budaya kita, yang telah mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan kita. Tapi, kita juga sakit hati kepada elit-elit dan pemimpin negeri yang telah mendapat amanah untuk menjaga NKRI namun tak mampu merawat, menjaga, dan mengembangkan seluruh kekayaan alam dan kekayaan budaya yang kita miliki.
Rakyat diajak menjadi nasionalis, rakyat diajak cinta negeri, tapi diam-diam mereka menjual semua aset negeri dan harga diri bangsa ini kepada bangsa-bangsa lain. Kita bisa menyaksikan bagaimana daratan Singapura yang setiap harinya bertambah luas karena pasokan pasir dari Indonesia namun pemerintah seperti tutup mata.
Kita bisa menyaksikan bagaimana lahan-lahan perkebunan yang subur di wilayah Sumatera telah menjadi milik pengusaha-pengusaha Malaysia dan Singupura. Sementara penduduk asli dipaksa mengungsi. Kita bisa menyaksikan satelit palapa yang menjadi kebanggaan anak bangsa secara sadar dijual murah kepada Singapura. Kita bisa menyaksikan lahan-lahan kaya tambang dan gas kita telah dikuasai korporasi dunia yang tak berjiwa.
Kita bisa menyaksikan penenun dan pelukis batik yang hidupnya termarginalkan di desa-desa di pinggir kota. Kita bisa menyaksikan seniman-seniman tradisional yang hidup jauh dari sejahtera, dan masih banyak lagi bukti bahwa para pemimpin kita tidak pernah serius dalam merawat, menjaga, dan mengembangkan kekayaan yang kita miliki.
Saya berharap rakyat kita tidak terjebak permainan emosi yang sedang dilakukan elit-elit negeri. Rakyat mesti waspada dari setiap praktek adu domba dan pengalihan isu atas hak-hak kesejahteraan, hak-hak ketentraman dan keamanan yang seharusnya mereka miliki yang gagal dipenuhi pemerintahan saat ini.
Rakyat perlu membangun posisi tawar baru dalam setiap mobilisasi yang mengatasnamakan cinta terhadap negeri. Rakyat mesti berani menuntut pengembalian semua aset ekonomi dan aset budaya yang selama ini secara sengaja dikuasakan kepada bangsa-bangsa lain. Semoga keberanian itu segera datang....)***
Rakyat diajak waspada. Rakyat diajak takut. Rakyat diajak membenci suatu obyek yang tidak mampu melakukan perlawanan opini. Karena, tidak pernah ada ruang untuk menjelaskan jati diri dan semua aksi yang telah terjadi. Yang lebih memprihatinkan adalah rakyat diajak curiga satu sama lainnya. Bahkan, korban telah terjadi. Ada warga yang diusir dari tempat tinggalnya oleh warga lain karena dituduh sebagai teroris.
Kegagalan polisi menyelesaikan aksi-aksi teror yang telah lama terjadi di negeri ini menyebabkan polisi bertindak ceroboh dan gegabah. Polisi memperluas permusuhannya. Bukan hanya kepada teroris. Tapi, juga kepada umat Islam dengan instruksi mengawasi setiap aktivitas dakwah yang ada dan mencurigai semua orang yang menggunakan atribut agama. Polisi juga telah mengajak rakyat mewaspadai hal-hal baik dan orang-orang baik. Yang pada ujungnya tidak mustahil polisi akan mengajak rakyat membenci kebaikan dan orang-orang baik.
Apa yang dilakukan aparat saat ini persis seperti yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru yang memusuhi kebaikan. Era 80-an ditandai dengan pelarangan muslimah mengenakan jilbab dan sempitnya ruang untuk berdakwah. Setiap ustad yang mau ceramah harus memiliki SIM alias Surat Izin Mubaligh.
Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu ditongkrongi polisi dan harus mendapat izin resmi. Negara pada saat itu juga mempertentangkan agama dan Pancasila yang melaksanakan agama dianggap tidak setia pada Pancasila. Semua harus turut dalam keseragaman yang disebut azaz tunggal. Negara seperti mengalami amnesia bahwa kata jihad dan teriakan Allohuakbarlah yang sesungguh telah mewarnai hari-hari perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
merdeka.
Persoalan kedua, adalah persoalan klaim budaya oleh Malaysia. Selama ini banyak atribut dan artifac budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia. Dari mulai batik, keris, wayang, reog Ponorogo, sampai terakhir tari pendet. Malaysia sendiri sudah mengklarifikasi dan mengatakan tidak pernah berniat mengklaim tari pendet sebagai budaya asli Malaysia. Justru Malaysia menjelaskan asal usul tari pendet yang berasal dari Bali itu.
Tapi, rakyat sudah terlanjur dilibatkan dan diajak untuk ikut emosi. Sehingga, meski mereka tidak pernah menonton film promosi budaya Malaysia yang tayang di Discovery Channel, dengan penuh percaya diri mereka turut dalam demonstrasi.
Persoalan ketiga, adalah persoalan tiga pulau yang dijual di Mentawai. Isu ini ternyata bukan hal baru. Sejak tahun 2005 sudah ada tujuh pulau termasuk di Karimunjawa dan Manggarai yang dijual. Pemerintah tahu mengenai penjualan ini. Namun, Pemerintah seolah tutup mata dan merasa tak berdaya dengan mengatakan penjualan terjadi karena pulau itu bukan milik pemerintah. Tetapi, milik warga dan warga yang telah menjualnya.
Dari persoalan-persoalan tersebut di atas efek positif yang muncul adalah rakyat disadarkan bahwa kita sesungguhnya benar-benar bangsa yang kaya. Bukan cuma kaya secara fisik, dengan keindahan alam, kesuburan tanah, kekayaan kandungan bumi, kekayaan isi lautan dan lain sebagainya, melainkan juga kaya akan budaya.
Efek positif lainnya adalah munculnya kecintaan pada bangsa dan semangat untuk membelanya. Saya yakin seluruh anak negeri bangkit kecintaannya pada Bumi Pertiwi dan bersemangat untuk membela Ibu Pertiwi ketika menyadari bahwa apa yang kita punya satu per satu sirna. Namun, persoalannya kita juga menjadi miris dan sakit hati. Karena, semua kekayaan kita selama ini tak bisa kita nikmati.
Bukan semata-mata sakit hati dengan bangsa asing yang mengakuisisi kekayaan alam kita, yang telah mengklaim budaya kita, yang telah mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan kita. Tapi, kita juga sakit hati kepada elit-elit dan pemimpin negeri yang telah mendapat amanah untuk menjaga NKRI namun tak mampu merawat, menjaga, dan mengembangkan seluruh kekayaan alam dan kekayaan budaya yang kita miliki.
Rakyat diajak menjadi nasionalis, rakyat diajak cinta negeri, tapi diam-diam mereka menjual semua aset negeri dan harga diri bangsa ini kepada bangsa-bangsa lain. Kita bisa menyaksikan bagaimana daratan Singapura yang setiap harinya bertambah luas karena pasokan pasir dari Indonesia namun pemerintah seperti tutup mata.
Kita bisa menyaksikan bagaimana lahan-lahan perkebunan yang subur di wilayah Sumatera telah menjadi milik pengusaha-pengusaha Malaysia dan Singupura. Sementara penduduk asli dipaksa mengungsi. Kita bisa menyaksikan satelit palapa yang menjadi kebanggaan anak bangsa secara sadar dijual murah kepada Singapura. Kita bisa menyaksikan lahan-lahan kaya tambang dan gas kita telah dikuasai korporasi dunia yang tak berjiwa.
Kita bisa menyaksikan penenun dan pelukis batik yang hidupnya termarginalkan di desa-desa di pinggir kota. Kita bisa menyaksikan seniman-seniman tradisional yang hidup jauh dari sejahtera, dan masih banyak lagi bukti bahwa para pemimpin kita tidak pernah serius dalam merawat, menjaga, dan mengembangkan kekayaan yang kita miliki.
Saya berharap rakyat kita tidak terjebak permainan emosi yang sedang dilakukan elit-elit negeri. Rakyat mesti waspada dari setiap praktek adu domba dan pengalihan isu atas hak-hak kesejahteraan, hak-hak ketentraman dan keamanan yang seharusnya mereka miliki yang gagal dipenuhi pemerintahan saat ini.
Rakyat perlu membangun posisi tawar baru dalam setiap mobilisasi yang mengatasnamakan cinta terhadap negeri. Rakyat mesti berani menuntut pengembalian semua aset ekonomi dan aset budaya yang selama ini secara sengaja dikuasakan kepada bangsa-bangsa lain. Semoga keberanian itu segera datang....)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar