Jika kita perhatikan tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan terkait penyediaan infrastruktur baik yang dilakukan pemerintah, swasta, maupun lembaga donor, banyak ditemukan keterbengkalaian sarana yang merupakan indikator kegagalan program. Hal yang terlihat kasat mata adalah banyaknya sarana yang "mangkrak" atau tidak berfungsi. Baik di desa maupun perkotaan yang hanya meninggalkan bangunan tanpa pemanfaatan.
Jika kita amati, bangunan tersebut baik berupa pasar, posyandu, kantor desa, penampungan air, irigasi, sekolah, koperasi, dan sebagainya usianya terbilang pendek. Ada yang hanya dimanfaatkan tiga bulan, satu tahun, dan maksimal lima tahun. Padahal dalam perencanaannya pembangunan fasilitas sebagai akses penanggulangan kemiskinan didesain untuk aktivitas berkelanjutan.
Terdapat berbagai keluhan masyarakat terkait kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur. Mulai dari rendahnya penghasilan, kerusakan jalan, kesulitan air, kualitas kesehatan, gagal panen, dan sebagainya.
Jika kita amati, bangunan tersebut baik berupa pasar, posyandu, kantor desa, penampungan air, irigasi, sekolah, koperasi, dan sebagainya usianya terbilang pendek. Ada yang hanya dimanfaatkan tiga bulan, satu tahun, dan maksimal lima tahun. Padahal dalam perencanaannya pembangunan fasilitas sebagai akses penanggulangan kemiskinan didesain untuk aktivitas berkelanjutan.
Terdapat berbagai keluhan masyarakat terkait kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur. Mulai dari rendahnya penghasilan, kerusakan jalan, kesulitan air, kualitas kesehatan, gagal panen, dan sebagainya.
Contoh lain di Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Pihak dinas kesehatan setempat mengungkapkan bahwa wilayahnya termasuk endemik disentri karena kebiasaan masyarakat buang air besar di kebun dan kolam ikan. Yang menjadi ironi ketika mengunjungi desa setempat terdapat bangunan MCK umum bantuan pemda setempat yang berumur kurang dari setahun tidak dimanfaatkan masyarakat. Malah ditumbuhi rerumputan dan nyaris roboh. Banyak lagi contoh kegagalan lain terkait upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berbagai pihak pada akhirnya hanya menyisakan bangunan fisik semata. Tanpa mengubah kemiskinan secara substansi. Tidak jarang program pemerintah, swasta, maupun donor hanya berjalan saat peresmian dan setelahnya tidak berkelanjutan. Kegagalan dalam upaya penanggulangan kemiskinan pada dasarnya disebabkan paradigma keliru, yang mengedepankan pendekatan fisik, bukan pembangunan yang berpusat pada manusia.
Pembangunan yang Berpusat Pada Manusia
Terdapat perbedaan antara program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pembangunan sarana atau fasilitas fisik dengan pendekatan penanggulangan kemiskinan berpusat pada manusia. Pendekatan pembanguan sosial lebih memfokuskan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universalistik.
Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada orang-orang yang membutuhkan (needy individuals). Akan tetapi lebih memfokuskan pada mereka (komunitas) yang ditelantarkan oleh pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini. Seperti kelompok miskin yang ada di perkotaan dan pedesaan serta kelompok minoritas.Pendekatan pembangunan sosial merupakan koreksi terhadap kecenderungan pembanguan yang berfokus pada sektor ekonomi dan fisik semata.
Terdapat perbedaan antara program penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan pembangunan sarana atau fasilitas fisik dengan pendekatan penanggulangan kemiskinan berpusat pada manusia. Pendekatan pembanguan sosial lebih memfokuskan pada populasi sebagai suatu kesatuan yang bersifat inklusif dan universalistik.
Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada orang-orang yang membutuhkan (needy individuals). Akan tetapi lebih memfokuskan pada mereka (komunitas) yang ditelantarkan oleh pembangunan ekonomi yang terjadi selama ini. Seperti kelompok miskin yang ada di perkotaan dan pedesaan serta kelompok minoritas.Pendekatan pembangunan sosial merupakan koreksi terhadap kecenderungan pembanguan yang berfokus pada sektor ekonomi dan fisik semata.
Hal itu tidak berarti bahwa proses pembangunan sosial akan meninggalkan proses pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik. Justru upaya pembangunan sosial, baik langsung maupun tidak langsung, harus tetap memperhatikan dan melibatkan aspek pembangunan fisik dan ekonomi (Adi, 2008).
Sebagai contoh untuk mengembangkan pola hidup sehat pada masyarakat setidaknya harus tersedia sarana dan prasarana terkait aspek fisik. Seperti penyediaan air bersih, saluran pembuangan, tempat sampah, fasilitas MCK, serta perangkat pembersih terkait personal hygiene (seperti sabun, odol, dan handuk). Selain itu, tidak hanya aspek fisik terkait MCK yang diperhatikan, hal yang tidak kalah penting adalah upaya memasyarakatkan pola hidup sehat.
Tidak akan berarti adanya MCK tanpa disertai peningkatan pengetahunan masyarakat mengenai kesehatan, penggunaan MCK, penggunaan personal higine, serta rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas MCK. Karena sering sekali kita jumpai MCK yang berada pada daerah kumuh baik di perdesaan maupun perkotaan pada akhirnya terbengkalai tidak digunakan oleh masyarakat. Karena, tidak disertai proses penyadaran terhadap pentingnya penggunaan dan pemeliharaan fasilitas.
Intervensi yang dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan sosial sesuai contoh di atas antara lain diarahkan pada munculnya perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude), dan niat individu (intention). Urutan perubahan dari aspek pengetahuan hingga niat individu merupakan proses penyadaran terhadap kelompok sasaran dalam kerangka pembangunan sosial. Sehingga, ketika seorang community worker ingin mengubah perilaku kelompok masyarakat terkait personal higine (perawatan kesehatan diri) harus diterapkan bersamaan dengan pembangunan fisik.
Jika hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinan tujuan program penanggulangan kemiskinan akan berkelanjutan, dan sarana fisik terpelihara, karena di dalamnya tumbuh partisipasi dan kesadaran masyarakat. Dengan demikian tidak akan ada lagi fasilitas sebagai akses yang diharapkan berdampak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan hanya sekedar menjadi "fosil" yang nyaris tidak membawa kebermanfaatan apa pun...)***
Tidak akan berarti adanya MCK tanpa disertai peningkatan pengetahunan masyarakat mengenai kesehatan, penggunaan MCK, penggunaan personal higine, serta rasa memiliki masyarakat terhadap fasilitas MCK. Karena sering sekali kita jumpai MCK yang berada pada daerah kumuh baik di perdesaan maupun perkotaan pada akhirnya terbengkalai tidak digunakan oleh masyarakat. Karena, tidak disertai proses penyadaran terhadap pentingnya penggunaan dan pemeliharaan fasilitas.
Intervensi yang dilakukan dalam kaitannya dengan pembangunan sosial sesuai contoh di atas antara lain diarahkan pada munculnya perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keyakinan (belief), sikap (attitude), dan niat individu (intention). Urutan perubahan dari aspek pengetahuan hingga niat individu merupakan proses penyadaran terhadap kelompok sasaran dalam kerangka pembangunan sosial. Sehingga, ketika seorang community worker ingin mengubah perilaku kelompok masyarakat terkait personal higine (perawatan kesehatan diri) harus diterapkan bersamaan dengan pembangunan fisik.
Jika hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinan tujuan program penanggulangan kemiskinan akan berkelanjutan, dan sarana fisik terpelihara, karena di dalamnya tumbuh partisipasi dan kesadaran masyarakat. Dengan demikian tidak akan ada lagi fasilitas sebagai akses yang diharapkan berdampak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan hanya sekedar menjadi "fosil" yang nyaris tidak membawa kebermanfaatan apa pun...)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar