Kamis, 04 Maret 2010

Skandal Siasat Century

KERUMITAN paling krusial dari Pansus Angket Century adalah soal penyebutan nama. Pemerintah gencar melobi agar kesimpulan akhir pansus tidak menyebut nama para pejabat yang dianggap bertanggung jawab terhadap skandal pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.

Kerumitan itulah yang menyebabkan pembacaan sikap fraksi ditunda. Dari semula kemarin malam diundur sampai siang hari ini. Rupanya Partai Demokrat belum mampu meyakinkan beberapa fraksi--terutama Golkar dan PKS-agar bersepakat bahwa skandal Century adalah skandal tanpa pelaku.
Sembilan anggota DPR yang dikenal sebagai inisiator Pansus Century mulai frustrasi. Lobi pemerintah yang gencar telah berhasil membelokkan sikap sejumlah partai yang semula ngotot dengan kejahatan dengan pelaku menjadi kejahatan anonim. Mereka terpaksa melobi tokoh-tokoh terkemuka dan berpengaruh agar mengingatkan para ketua partai untuk tidak mencoreng arang di muka sendiri.

Para inisiator memang pantas resah. Mereka boleh saja ngotot di sidang angket Century, tetapi praktik politik berbicara lain. Penentuan sikap akhir ada di tangan para ketua partai yang tidak pernah terlibat langsung dalam persidangan dan perdebatan. Aneh bin ajaib bila logika dan power politik sengaja menyesatkan publik untuk mengakui kejahatan anonim. Dengan logika apa pun, sulit diterima bila sebuah skandal hanya menghadirkan akibat tanpa pelaku. Di mana-mana dan dalam kejahatan apa pun selalu hadir yang namanya pelaku. Hanya di Indonesia kita digiring untuk mengakui kejahatan tanpa nama itu.

Sebuah kejahatan, entah skandal entah penyelewengan, pasti ada orang yang bertanggung jawab. Bila power politik didayagunakan untuk melumpuhkan logika yang sangat substansial dan asasi seperti ini, itulah pengungkapan skandal dengan melahirkan skandal baru. Dan itu rupanya sangat khas dalam praktik bernegara di Indonesia.

Skandal atau kejahatan yang dipaksakan dengan berbagai macam cara untuk menjadi anonim adalah wujud dari hilangnya rasa tanggung jawab dari para penyelenggara negara. Demi dan dalam situasi tertentu tanggung jawab bisa dilempar ke mana-mana.

Ada institusi yang dianggap sakral sehingga kejahatan yang melekat pada institusi dilempar menjadi kejahatan oknum. Tetapi ketika ada orang atau pejabat yang disanjung, kejahatan apa pun yang menjadi tanggung jawabnya dibelokkan menjadi kejahatan institusional. Logika berpikir politik dan elite politik seperti inilah yang menjadi sumber segala manipulasi yang kian subur. Semakin kita berteriak tentang perang terhadap korupsi dan kejahatan apa pun, semakin kita menyaksikan maraknya kejahatan yang hendak kita perangi. Karena negara dikelola dengan power dan semangat persiasatan untuk mengubur yang substansial dan memamerkan yang artifisial.

Dalam sidang-sidang pansus yang menyita perhatian publik, nama Boediono--mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini menjadi wakil presiden-dan Sri Mulyani-mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang kini menjadi Menteri Keuangan--gencar disebut dan disorot. Kedua nama itulah yang sekarang diupayakan untuk tidak disebut.

Skandal yang harus dibungkus pelakunya sama dengan kentut. Baunya menyengat ke mana-mana, tapi tidak boleh tahu dari mana asalnya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar