Sabtu, 06 Maret 2010

KOALISI PENYAKITAN

HASIL Rapat Paripurna DPR tentang Angket Century menegaskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jelas didukung koalisi yang penyakitan. Besar di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Besar karena koalisi yang meliputi Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menguasai 75% kursi parlemen.

Rapuh karena dalam voting Rapat Paripurna Angket Century, Rabu (3/3), pemerintahan Presiden Yudhoyono kalah telak 60,5% akibat tidak dibela pilar-pilar pendukung koalisinya sendiri. Partai Golkar, PKS, dan PPP pada voting itu terang-terangan bersikap menyalahkan bailout. Hanya dua mitra koalisi yang tetap menunjukkan jati diri sebagai mitra koalisi, yaitu PKB dan PAN. Kasus Century itu lagi-lagi memperlihatkan betapa Presiden yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh lebih dari 60% suara ternyata tidak berdaya menghadapi serangan parlemen. Dan ironisnya, itu dilakukan oleh mitra-mitra koalisinya sendiri.

Jelas ada ketidaksetiaan di situ. Bahkan, ada pengkhianatan di situ. Dan itulah pengkhianatan yang dilakukan dari depan dan terbuka. Tidak ada yang menikam dari belakang sebab keputusan di DPR diambil dengan voting yang terbuka, yang disiarkan langsung oleh televisi. Dengan kata lain, pengkhianatan terhadap koalisi itu dilakukan dengan disaksikan rakyat yang diwakili. Sebuah langkah politik yang sangat penting untuk mengambil hati konstituen, mumpung ada kesempatan. Semacam mencuri start untuk Pemilu 2014. Bukankah ada moralitas politik di situ, yaitu kebenaran menyangkut kasus bailout harus ditegakkan, sekalipun dengan imoralitas pengkhianatan terhadap koalisi.

Diakui atau tidak, kasus Century menempatkan Presiden Yudhoyono dalam dilema besar. Yakni harus memilih antara mempertahankan dan meneruskan koalisi yang rapuh itu hingga akhir masa pemerintahannya atau merekonstruksi ulang format koalisi. Kedua pilihan itu memiliki konsekuensi politik yang sama-sama pahit.

Meneruskan format koalisi berarti harus siap menanggung kembali ketidaksetiaan mitra-mitra koalisi. Merekonstruksi ulang sama saja bersiap-siap dihajar mitra koalisi yang tidak dilibatkan kembali.

Padahal, jalan masih panjang. Kabinet Indonesia Bersatu II baru berusia empat bulan. Masih ada sisa empat tahun lebih yang harus ditempuh untuk menuntaskan masa pemerintahan. Keputusan sepenuhnya di tangan Presiden Yudhoyono. Presiden Yudhoyono harus berani mengambil keputusan terbaik demi stabilitas serta kepentingan bangsa dan negara. Ia memiliki hak prerogatif menata ulang kabinet dan membersihkan penyakit koalisi.

Bila tidak, sepanjang masa pemerintahannya ia akan dihantui kerapuhan kekuatan penyokong di parlemen dan terjebak pada politik transaksional. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar