Rabu, 03 Maret 2010

ADA APA DENGAN SBY ?

Dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Sby, bukan hanya "melorot" popularitasnya di mata rakyat, namun dengan adanya pengakuan jujur tentang "tanggungjawab" nya selaku Kepala Negara atas kasus bail-out dana Bank Century, terkesan semakin memperjelas bagaimana sesungguhnya sosok Presiden NKRI ini. Sby yang sekarang sedang menakhkodai negeri tercinta untuk periode lima tahun yang kedua, memang tatkala tampil untuk pertama kali di panggung politik, dikenal sebagai sosok yang perlu dikasihani karena seolah-olah didzolimi, bersih, jujur, amanah dan bersahaja. Sby dikenal sebagai pensiunan jendral yang senang bergulat dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Sejak diketentaraanpun Sby sering dikirim untuk tugas belajar ke luar negeri. Bahkan beberapa tahun sebelum dirinya menjadi Presiden, Sby mampu menyabet gelar doktor ekonomi pertanian dari IPB. Sby pun dikenal sebagai pencinta seni. Buktinya sudah banyak album lagu yang ditulis dan dirilis ke masyarakat. Pertanyaannya adalah mengapa sekarang popularitasnya menjadi menurun ? Mengapa sekelompok suporter Persitara dengan mengendarai 3 mobil metro mini dan 1 bis mayasari yang sedang menuju stadion Kuningan secara spontan melempari iring-iringan mobil kepresidenan yang melaju di depannya ? Dan kenapa pula masyarakat menjadi kurang tertarik lagi terhadap apa-apa yang disampaikan oleh seorang Presidennya ?

Banyak analisis yang dapat diungkap mengapa hal yang demikian dapat terjadi ? Bisa saja karena ada anggapan bahwa kebijakan-kebijakan Pemerintah yang dijalankan selama ini dinilai kurang berpihak kepada kepentingan rakyat, sehingga hati nurani rakyat menjadi tersakiti. Sebagai contoh, ketika harga beras merangkak naik, ternyata Pemerintah santai-santai saja dan tidak sigap dalam mencari jalan keluarnya. Pemerintah ketika itu malah sibuk "berargumen" soal harga mobil mewah bagi para pejabat negara atau malah terlena dengan rencana membeli pesawat kepresidenan senilai 700 Milyar rupiah. Di mata rakyat harga mobil 1,3 Milyar atau pesawat udara 700 Milyar milyar itu cukup mencengangkan. Bagi para penerima manfaat program raskin misalnya, daya beli untuk menebus beras sejumlah 15 Kg dengan harga Rp. 1.600,-/Kg atau sekitar Rp. 24.000,- hampir tidak ada. Akibatnya beras raskin itupun dibagi rata dan dikenal dengan istilah "Rasta". Yang lebih memilukan adalah ketika bangsa ini sedang prihatin dan sebagian besar masyarakat sedang kelimpungan karena daya beli ekonomi yang makin lemah, tiba-tiba keluar Keputusan Pemerintah yang mengumumkan tentang kenaikan gaji pejabat negara. Padahal, dengan keadaan "gaji" yang diterimanya selama ini, para pejabat negara itu jelas sudah berkecukupan. Rumah gratis. Mobil cuma-cuma. Listrik, ledeng, telepon, makan, keamanan, ajudan, dan lain-lain sudah disediakan dan dibayar oleh negara. Jadi, lain cerita bila Pemerintah memiliki semangat untuk meningkatkan pendapatan petani yang selama ini hanya Rp. 540.000 perbulan menjadi Rp. 1.500.000 perbulan. Akibatnya wajar jika kemudian banyak pihak yang menuding bahwa dalam kepemimpinan 100 harinya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, seolah-olah sedang terjangkit "autis politik". Asyik sendiri dan tidak hirau dengan orang-orang yang berada di sekeliling nya. Para pejabat lupa bahwa di ujung desa - desa ada retakan-retakan tanah yang dapat melahirkan longsor ketika curah hujan sangat tinggi. Para pengambil kebijakan tampak tidak "paham" ketika di sebuah kampung ada anak bangsa yang makan nasi aking. Tak kalah pentingnya untuk disampaikan, ternyata fenomena-fenomena kehidupan yang mengenaskan tersebut, seolah-olah luput dari perhatian para penentu kebijakan.

Untuk itu, sah-sah saja kalau banyak warga bangsa yang kecewa atas kepemimpinan Sby. Pemerintah tampak asyik dengan pola permainannya sendiri dan rakyatpun dipaksa untuk tetap menelan pil pahit kehidupannya. Adanya "jarak" dan "kualitas hidup" yang makin jauh antara penguasa dan rakyat, muncul menjadi masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Arogansi kekuasaan tentu harus dihindari dan jangan dilestarikan. Penguasa mestinya makin menurunkan "standing posision"nya, untuk mulai menyatu dengan aspirasi rakyat. Penguasa jangan ingin menjadi kelompok elit, sedangkan rakyat jangan mau terus-menerus menjadi anak bangsa yang terpinggirkan atau bahkan terhempaskan dari panggung pembangunan bangsa dan negara. Semangat egaliter tentu mutlak dikembangkan. Rasa cinta dan sayang akan nasib sesama, tetap harus ditumbuh-kembangkan. Makna seperasaan, senasib dan sepenanggungan juga penting untuk terus dihangatkan. Prinsip dan gaung : dari kita, oleh kita dan demi kita sesama anak bangsa, jangan pernah merasa lelah untuk dikumandangkan. Kita bangun negeri dan bangsa ini demi kesejahteraan rakyat yang makin berkualitas.

Kasus pelemparan suporter sepakbola yang "bersih politik", dan hanya sebagai penonton bola terhadap mobil iring-iringan Presiden, bisa jadi merupakan "protes" terhadap gambaran nyata kehidupan. Mereka bisa saja kesal karena keinginannya untuk cepat sampai ke tujuan menjadi terhambat karena adanya iring-iringan mobil kepresidenan. Mereka boleh saja berargumen bahwa tindakannya itu hanya sekedar iseng. Atau bisa juga sikap yang dilakukannya itu bagian dari sebuah "penggugatan" terhadap kiprah para penguasa yang semakin terasing dari warga bangsanya sendiri.

Suka ataupun tidak, sekarang ini rakyat semakin cerdas. Rakyat sudah tidak mungkin dapat diiming-imingi oleh janji-janji gombal. Rakyat sudah mengenali mana kebijakan yang berpihak dan mana yang sifatnya karikatif. Oleh karena itu, rakyat pasti mencatat dan dapat membuat komentar jika ditanyakan kepada mereka apakah dalam kebijakan-kebijakan nya sejak Presiden Sby dilantik jadi Presiden NKRI 2009-2014 lebih mengedepankan "pro rakyat" atau tidak ? Apakah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 mampu memahami dan menghayati "suara rakyat" yang ada disekitar nya atau tidak ?

Barangkali kasus pelemparan yang dilakukan oleh sekelompok suporter bola terhadap iring-iringan mobil kepresiden, sepantasnya mampu menjawab pertanyaan : ada apa dengan Sby ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar