Senin, 08 Maret 2010

Indonesia Macan Korup di Asia

Hasil survei itu menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10.
Indonesia, salah satu bintang emerging markets tahun lalu ternyata merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi pada pelaku bisnis.

Ini adalah hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan "Political & Economic Risk Consultancy" (PERC) yang berbasis di Hong Kong.

PERC menilai korupsi yang telah merajalela di semua level justru menjadi penghambat pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang bertugas memerangi korupsi, terutama terhambat oleh politisasi isu dari pihak-pihak yang merasa terancam.

"Korupsi telah menjadi beban, dan dipakai orang yang korup untuk melindungi diri mereka sendiri dan menahan reformasi," katanya.

Hasil survei itu menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada 2010. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69.

Responden survei berjumlah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.

Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja sebagai negara paling korup. Kemudian diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura.

Survei ini mengkaji bagaimana korupsi mempengaruhi berbagai tingkat kepemimpinan politik dan layanan sipil. Ini juga melihat bagaimana korupsi dianggap berpengaruh pada lingkungan bisnis secara menyeluruh, serta seberapa jauh perusahaan mengatasi masalah internal dan eksternal ketika berhadapan dengan situasi tersebut.(*)

Sabtu, 06 Maret 2010

Mempidana Pelaku Nikah Siri atau Pelacuran?

Nikah siri menjadi fokus perhatian dalam dua pekan terakhir. Meski belum menyaingi "kepopuleran" Pansus Hak Angket Bank Century yang masa kerjanya tinggal dua pekan lagi polemik nikah siri melibatkan banyak pihak. Mulai Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia, Komnas Perempuan, Mahkamah Konsitusi, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama hingga sejumlah pimpinan Pondok Pesantren.

Bermula dari materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. Dalam rancangan ini, terdapat klausul tentang pemberian sanksi pidana bagi pelaku nikah siri. Ada apa gerangan dengan nikah siri?

Nikah siri, menurut Majelis Ulama Indonesia adalah nikah di bawah tangan dan tidak tercatat dalam administrasi pemerintah. Nikah siri, menurut ajaran Islam, hukumnya sah dan tidak haram. Meski demikian, ada syaratnya: ada dua saksi dari kedua belah pihak, dikukuhkan penghulu, ada mempelai laki-laki dan perempuan, serta mengucapkan ijab-kabul.

Karena tidak tercatat dalam administrasi pemerintah, alias kantor urusan agama (KUA), pemerintah melalui Kementerian Agama, mengkhawatirkan soal kepastian hukum ini terhadap anak-anak yang dilahirkan dan nasib istri jika terjadi perceraian atau akibat lain. "Jika perceraian tanpa kepastian hukum, akan menimbulkan dampak sosial yang luar  biasa, terutama bagi anak-anak hasil pernikahan siri," jelas Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nazaruddin Umar.

Kekhawatiran itu kemudian dijawab dengan "menyelipkan" sanksi pidana bagi para pelaku nikah siri ke dalam RUU tadi. Sebuah pasal dari RUU menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, dipidana dengan denda maksimal Rp 6 juta atau hukuman paling lama enam bulan penjara.

Karena adanya sanksi pidana, polemik pun bersiliweran. Muncul pertanyaan, mengapa nikah siri yang menurut agama (Islam) diperbolehkan, tapi oleh pemerintah pelakunya justru dikenai sanksi pidana?

Komnas Perempuan, melalui komisionernya, Kiai Haji Husein Muhammad menyatakan, sanksi pidana diperlukan karena nikah siri bertentangan dengan ajaran Islam. Alasannya, Islam justru harus melindungi perempuan, sementara nikah siri malah merugikan.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. secara pribadi bukan sekadar mendukung pemberian sanksi pidana. Mahfud bahkan melarang pernikahan siri, karena hanya diperlakukan sebagai pelampiasan nafsu seksual belaka. "Pelarangan nikah siri dan pemberian sanksi pidana merupakan wujud perlindungan akibat buruk pada korban-korbannya," terang Mahfud.

Pihak Komnas HAM menentangnya. Ketuanya, Ifdhal Kasim mengingatkan, pemerintah jangan terlalu jauh masuk ke dalam ranah pribadi warga negara. Pengaturan formalitas perkawinan yang berlebihan, bisa dikategorikan satu bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan negara. Jika kemudian alasannya untuk melindungi perempuan dan anak-anak karena pernikahan siri tidak tercatat dalam administrasi pemerintah Ifdhal punya saran: "Legalkan pernikahan siri dengan melakukan pencatatan, bukan menonjolkan sanksinya."

Polemik bisa lebih panjang lagi manakala pemerintah mengurus pernikahan siri yang jelas-jelas diakui agama. Seperti kata Yunahar Ilyas, seorang Pengurus Pusat Muhammadiyah: "Sanksi bagi pelaku nikah siri sudah terlalu jauh. Kalau mau mempidanakan, pidanakan dulu pelaku pelacuran perzinaan, kumpul kebo, yang jelas-jelas haram hukumnya."

Ahmad Bagdja, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama berpendapat senada. Jika pelaku nikah siri dipidanakan, ia khawatir, hal itu justru akan menyuburkan praktik 'kumpul kebo'. "Sangat tidak logis nikah siri dihukum. Seks bebas dan kumpul kebo dianggap bagian dari hak asasi manusia, karena suka sama suka," ingat Bagdja.

Dari polemik yang berkembang, persoalannya sebetulnya bukan pada nikah siri, tapi akibat yang ditimbulkan. Jika pernikahan siri gagal di tengah jalan, anak-anak sebagai buah perkawinan dikhawatirkan kehilangan hak dan tidak punya kekuatan hukum untuk mendapatkan nafkah maupun warisan.

Kekhawatiran itu dinilai K.H. Mutawakkil berlebihan. Menurut ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur ini, pernikahan secara siri juga melindungi hak anak dan perempuan atau istri. Meski tidak masuk dalam administrasi pemerintah, anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan siri juga berhak mendapat warisan, sesuai hukum waris.

Kalau demikian persoalannya, pemerintah tidak perlu menempuh jalan pintas yang dinilai bertentangan: mengharamkan sesuatu yang sudah dihalalkan. Nikah siri tentu lebih baik dibanding tindakan kumpul kebo dan perzinaan, yang bertentangan dengan hukum agama maupun hukum positif. "Nikah siri juga menjadi satu cara menghindari perzinahan dan kumpul kebo," papar Mutawakkil mengingatkan.

Soal risiko mengorbankan anak-anak dan kaum perempuan, tentu bukan hanya akibat nikah siri saja. Pernikahan tercatat sekalipun, baik yang berakhir perceraian maupun bukan, juga sering mengorbankan anak-anak dan perempuan. Khususnya, manakala hak-hak mereka juga tidak bisa terlindungi.

Mengapa misalnya pemerintah tidak menempuh jalan melegalkan nikah siri dengan melakukan pencatatan di KUA, sebagaimana disarankan Komnas HAM? Atau bukan hukumannya yang ditonjolkan, tapi menyosialisasikan kepada masyarakat agar menghindari nikah siri, tapi melakukan nikah dengan melaporkan ke KUA.

Sudah seyogyanya pemerintah tidak masuk terlalu jauh ke dalam ranah kehidupan pribadi warga negara. Cukup banyak masalah yang perlu ditangani segera, terkait perkawinan dan akibat yang ditimbulkan. Misalnya, anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan, kini terpaksa mencari nafkah di jalanan, karena tidak ada sumber penghasilan yang bisa diperoleh orangtua mereka. Atau, orangtua yang terpaksa menjual bayi baik yang masik dalam kandungan maupun yang sudah dilahirkan karena tidak mampu menanggung biaya hidup yang makin tak terjangkau.

Atau, energi untuk membahas pemidanaan terhadap pelaku nikah siri ini dialihkan kepada kepentingan yang lebih mendesak. Misalnya, mengatasi maraknya pelacuran dan perzinaan, yang sebagian juga menghasilkan anak-anak tanpa diketahui bapaknya. Bahkan di Batam, Kepulauan Riau, para pelacur rencananya akan dikenai pajak 10 persen dari penghasilan mereka. Ini bagai menegaskan, pemerintah hendak melegalkan pelacuran, tapi kemudian melarang pernikahan yang jelas-jelas dihalalkan dalam ajaran Islam.

Tentu pemerintah lebih bijak memilih, tanpa mengabaikan keyakinan umat beragama.

KOALISI PENYAKITAN

HASIL Rapat Paripurna DPR tentang Angket Century menegaskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jelas didukung koalisi yang penyakitan. Besar di permukaan, tetapi rapuh di dalam.

Besar karena koalisi yang meliputi Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menguasai 75% kursi parlemen.

Rapuh karena dalam voting Rapat Paripurna Angket Century, Rabu (3/3), pemerintahan Presiden Yudhoyono kalah telak 60,5% akibat tidak dibela pilar-pilar pendukung koalisinya sendiri. Partai Golkar, PKS, dan PPP pada voting itu terang-terangan bersikap menyalahkan bailout. Hanya dua mitra koalisi yang tetap menunjukkan jati diri sebagai mitra koalisi, yaitu PKB dan PAN. Kasus Century itu lagi-lagi memperlihatkan betapa Presiden yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh lebih dari 60% suara ternyata tidak berdaya menghadapi serangan parlemen. Dan ironisnya, itu dilakukan oleh mitra-mitra koalisinya sendiri.

Jelas ada ketidaksetiaan di situ. Bahkan, ada pengkhianatan di situ. Dan itulah pengkhianatan yang dilakukan dari depan dan terbuka. Tidak ada yang menikam dari belakang sebab keputusan di DPR diambil dengan voting yang terbuka, yang disiarkan langsung oleh televisi. Dengan kata lain, pengkhianatan terhadap koalisi itu dilakukan dengan disaksikan rakyat yang diwakili. Sebuah langkah politik yang sangat penting untuk mengambil hati konstituen, mumpung ada kesempatan. Semacam mencuri start untuk Pemilu 2014. Bukankah ada moralitas politik di situ, yaitu kebenaran menyangkut kasus bailout harus ditegakkan, sekalipun dengan imoralitas pengkhianatan terhadap koalisi.

Diakui atau tidak, kasus Century menempatkan Presiden Yudhoyono dalam dilema besar. Yakni harus memilih antara mempertahankan dan meneruskan koalisi yang rapuh itu hingga akhir masa pemerintahannya atau merekonstruksi ulang format koalisi. Kedua pilihan itu memiliki konsekuensi politik yang sama-sama pahit.

Meneruskan format koalisi berarti harus siap menanggung kembali ketidaksetiaan mitra-mitra koalisi. Merekonstruksi ulang sama saja bersiap-siap dihajar mitra koalisi yang tidak dilibatkan kembali.

Padahal, jalan masih panjang. Kabinet Indonesia Bersatu II baru berusia empat bulan. Masih ada sisa empat tahun lebih yang harus ditempuh untuk menuntaskan masa pemerintahan. Keputusan sepenuhnya di tangan Presiden Yudhoyono. Presiden Yudhoyono harus berani mengambil keputusan terbaik demi stabilitas serta kepentingan bangsa dan negara. Ia memiliki hak prerogatif menata ulang kabinet dan membersihkan penyakit koalisi.

Bila tidak, sepanjang masa pemerintahannya ia akan dihantui kerapuhan kekuatan penyokong di parlemen dan terjebak pada politik transaksional. (*)

Bila Terjadi Reshuffle, PKS Paling Terancam

Bila akhirnya Presiden SBY melakukan reshuffle sebagai buntut 'pembelotan' mitra koalisi dalam rapat paripurna DPR tentang kasus Century, maka PKS yang paling berpeluang. Tapi nasib Partai Golkar di kabinet dan koalisi justru sebaliknya.

"Kalau ada reshuffle, kemungkinan besar yang akan dikorbankan adalah PKS," analisa Burhanudin Muhtadi, pengamat politik dari Lembaga Survey Indonesia (LSI).

Kepada wartawan yang mencegatnya usai acara diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu (6/3/2010), Burhanudin menyatakan bahwa ada kejengkelan terpendam politisi PD terhadap sejawatnya dari PKS. Periode lalu PD juga berkoalisi dengan PKS dan kala itu PKS juga membuat 'ulah' sehingga komitmennya sempat dipertanyakan.

"PD menilai PKS ini paling banyak pembangkangannya. Dulu ada kasus impor beras, kenaikan harga BBM dan sekarang soal Century itu," jelasnya.

Peluang terdepak dari keanggotaan koalisi dan kebersamaan dalam kabinet juga dihadapi oleh PPP karena fraksinya mendadak berubah haluan di detik terakhir. Sementara PAN yang bersikap mendua menurutnya cukup aman dan ini dibuktikan dengan permintaan 'meninjau' ulang keterwakilan PAN di kabinet.

"Saya kira dari seluruh anggota koalisi PKS yang paling terancam. Politisi PD pasti berpikir PKS sudah diberi 4 kursi menteri kok sikapnya begitu," sambung Burhanudin.

Lalu bagaimana dengan Golkar yang fraksi dalam voting paripurna DPR juga memilih opsi C dari usulan rekomendasi Pansus Century?"Posisi tawar Golkar jauh di atas PKS dilihat dari jumlah kursi di DPR dan kemampuan politisi mereka. Golkar kemungkinan selamat," jawab Burhanudin.

Faktor lain yang diyakininya mengamankan posisi Golkar adalah budaya Golkar untuk tidak menjadi oposisi. Buktinya adalah pidato politik Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (5/3) yang Burhanudin nilai bertujuan untuk meredam gejolak di internal Golkar.

"Ical berusaha cooling down, dia ngak punya nyali menantang SBY. Golkar tak pernah beroposisi, sebab oposisi mengancam kepentingan kepentingan politik dan ekonominya elit Golkar. Elit mereka di daerah ikut terancam karena banyak yang menjadi Bupati dan Gubernur," jelas Burhanudin panjang lebar.(*)

Kamis, 04 Maret 2010

Skandal Siasat Century

KERUMITAN paling krusial dari Pansus Angket Century adalah soal penyebutan nama. Pemerintah gencar melobi agar kesimpulan akhir pansus tidak menyebut nama para pejabat yang dianggap bertanggung jawab terhadap skandal pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.

Kerumitan itulah yang menyebabkan pembacaan sikap fraksi ditunda. Dari semula kemarin malam diundur sampai siang hari ini. Rupanya Partai Demokrat belum mampu meyakinkan beberapa fraksi--terutama Golkar dan PKS-agar bersepakat bahwa skandal Century adalah skandal tanpa pelaku.
Sembilan anggota DPR yang dikenal sebagai inisiator Pansus Century mulai frustrasi. Lobi pemerintah yang gencar telah berhasil membelokkan sikap sejumlah partai yang semula ngotot dengan kejahatan dengan pelaku menjadi kejahatan anonim. Mereka terpaksa melobi tokoh-tokoh terkemuka dan berpengaruh agar mengingatkan para ketua partai untuk tidak mencoreng arang di muka sendiri.

Para inisiator memang pantas resah. Mereka boleh saja ngotot di sidang angket Century, tetapi praktik politik berbicara lain. Penentuan sikap akhir ada di tangan para ketua partai yang tidak pernah terlibat langsung dalam persidangan dan perdebatan. Aneh bin ajaib bila logika dan power politik sengaja menyesatkan publik untuk mengakui kejahatan anonim. Dengan logika apa pun, sulit diterima bila sebuah skandal hanya menghadirkan akibat tanpa pelaku. Di mana-mana dan dalam kejahatan apa pun selalu hadir yang namanya pelaku. Hanya di Indonesia kita digiring untuk mengakui kejahatan tanpa nama itu.

Sebuah kejahatan, entah skandal entah penyelewengan, pasti ada orang yang bertanggung jawab. Bila power politik didayagunakan untuk melumpuhkan logika yang sangat substansial dan asasi seperti ini, itulah pengungkapan skandal dengan melahirkan skandal baru. Dan itu rupanya sangat khas dalam praktik bernegara di Indonesia.

Skandal atau kejahatan yang dipaksakan dengan berbagai macam cara untuk menjadi anonim adalah wujud dari hilangnya rasa tanggung jawab dari para penyelenggara negara. Demi dan dalam situasi tertentu tanggung jawab bisa dilempar ke mana-mana.

Ada institusi yang dianggap sakral sehingga kejahatan yang melekat pada institusi dilempar menjadi kejahatan oknum. Tetapi ketika ada orang atau pejabat yang disanjung, kejahatan apa pun yang menjadi tanggung jawabnya dibelokkan menjadi kejahatan institusional. Logika berpikir politik dan elite politik seperti inilah yang menjadi sumber segala manipulasi yang kian subur. Semakin kita berteriak tentang perang terhadap korupsi dan kejahatan apa pun, semakin kita menyaksikan maraknya kejahatan yang hendak kita perangi. Karena negara dikelola dengan power dan semangat persiasatan untuk mengubur yang substansial dan memamerkan yang artifisial.

Dalam sidang-sidang pansus yang menyita perhatian publik, nama Boediono--mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini menjadi wakil presiden-dan Sri Mulyani-mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang kini menjadi Menteri Keuangan--gencar disebut dan disorot. Kedua nama itulah yang sekarang diupayakan untuk tidak disebut.

Skandal yang harus dibungkus pelakunya sama dengan kentut. Baunya menyengat ke mana-mana, tapi tidak boleh tahu dari mana asalnya.(*)

Angkat topi buat kinerja pansus DPR

PESIMISME dapat menjadi daya dobrak yang dahsyat. Kesangsian bisa menjadi energi yang memacu motivasi. Dan prestasi mungkin saja lahir dari rahim keraguan.

Itulah yang terjadi dengan Pansus Angket Bank Century. Meski usul Angket Century ditandatangani 503 anggota DPR--jumlah terbesar pengusul hak angket--publik tetap saja bimbang. Kebimbangan kian menjadi setelah Idrus Marham, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar yang juga Sekjen DPP Golkar, terpilih menjadi ketua pansus.

Publik pantas bimbang. Puluhan hak angket DPR sebelumnya kandas di tengah jalan karena kental dengan aroma transaksional. Sebut saja contoh terakhir Pansus Angket BBM yang dipimpin Zulkifli Hasan (F-PAN). Pansus itu lenyap tanpa jejak dan ternoda isu gratifikasi. Tetapi Pansus Angket Century yang berakhir Rabu (3/3) malam membalikkan semua anggapan buruk tentang DPR. Inilah satu-satunya pansus yang bisa bekerja tanpa masuk angin hingga palu terakhir diketok. Di tengah badai lobi yang tak putus-putus, tekan menekan, teror meneror, ancam mengancam, anggota pansus tetap segar, bugar dan tegar.

Banyak hal bisa ditimba dari 60 hari perjalanan pansus. Kerja pansus yang terbuka, liputan pers yang luas terutama melalui televisi hingga masuk ke ruang-ruang privat, membuat semuanya menjadi terang benderang.

Sikap kritis anak-anak muda seperti Andi Rahmat (F-PKS), Maruarar Sirait (F-PDI), Romahurmuziy (F-PPP), Akbar Faisal (F-Hanura) dan sejumlah nama lain, telah menjadi inspirasi sekaligus mengubah citra dewan. Melalui sikap kritis mereka itu, publik telah membuat kesimpulan masing-masing atas skandal Century.

Karena itu, adalah tindakan bunuh diri jika partai mendorong fraksi untuk mengambil sikap berbeda dengan sikap yang muncul selama pansus bekerja. Konyol jika partai hanya ingin mempertahankan tiga atau empat kursi menteri di kabinet kemudian mengorbankan jutaan suara konstituen. Dan kebenaran yang bersemayam di hati nurani publik pun ditegakkan. Melalui voting yang terbuka, 60,5% suara di DPR memilih opsi C, yaitu kebijakan bailout Century dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum.

Fraksi-fraksi mayoritas telah menunjukkan sikap yang konsisten. Mereka memberi pelajaran bahwa suara rakyat di atas segalanya dan tidak bisa dibarter dengan kursi menteri atau pun tawaran fulus. Koalisi haruslah bermakna perhimpunan untuk membela kebenaran dan keadilan, bukan persekongkolan untuk menyembunyikan kebusukan.

Pansus Angket Century membangkitkan optimisme kita bahwa sebuah generasi baru telah lahir di DPR. Generasi baru itu bisa diharapkan mengubah citra parlemen yang sudah terlampau lama terbenam dalam praktik-praktik transaksi kelam. Kita juga menghargai sikap anggota Dewan yang lebih mengutamakan kebenaran dan nuraninya meski harus berbeda pandangan dengan fraksi. Anggota F-KB, Lily Wahid tentu siap dicopot saat memilih mengabdi pada kebenaran yang diyakininya. Apalagi dia termasuk sembilan inisiator Angket Century, namun oleh fraksinya dia tidak dijadikan anggota pansus.

Setelah lama anak bangsa ini kehilangan hormat terhadap DPR, sekarang kita boleh angkat topi kembali.(*)

Hakekat dan Tujuan UU Keamanan Nasional

SISTEM keamanan nasional merupakan salah satu bagian dari sistem nasional yang dibangun untuk mencapai tujuan nasional di bidang keamanan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Secara akademik, keamanan dipandang sebagai konsep multidimensional yang memiliki empat dimensi yang saling berkaitan, yaitu dimensi pertahanan negara, dimensi stabilitas dalam negeri, dimensi ketertiban publik, dan dimensi keselamatan insani.
Konsepsi pertahanan keamanan harus mampu melihat lingkup pertahanan keamanan negara secara utuh dan komprehensif yang mencakup antara:
1.   kondisi obyektif bangsa dan negara saat ini; 
2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; 
3.  kepentingan untuk mampu merespons tantangan masa depan; dan 
4. lebih memberikan perhatian kepada ciri orientasi ke masa depan (outward looking) sebagai imbangan terhadap orientasi orientasi ke masa lalu (inward looking).

UU tentang Keamanan Nasional harus mengatur sistem keamanan nasional, operasionalisasi sistem pertahanan dan keamanan, juga penanganan kondisi krisis. Oleh karena itu harus juga membahas hal-hal seperti:
* Kebijakan penggunaan kekuatan,
* Tanggung jawab sesuai peran dan fungsi lembaga,
* Kerjasma dengan instansi lain, dan
* Fungsi sektoral dan teknis.

Setiap intrumen negara (termasuk aktor keamanan) mengetahui tugas dan fungsinya masing-masing, sehingga dapat langsung bergerak mengatasi keadaan tersebut. Selain itu dalam UU Keamanan Nasional, mempertimbangkan:
* Mengamankan kepentingan dan tujuan nasional serta mendukung kebijakan strategis nasional,
* Menjadi payung hukum bagi instrumen-instrumen negara,
* Mengatur hubungan dan koordinasi antar institusi negara,
* Mengatur hubungan sipil-militer dalam masalah keamanan nasional, dan
* Mengatur keterlibatan luar negeri dalam permasalahan kemananan nasional.

Edy Prasetyono dalam salah satu tulisannya menyampaikan bahwa keamanan nasional sering dilihat dari tiga pandangan yaitu pertama, issue atau threat-based national security yang melihat keamanan nasional dari masalah-masalah atau ancaman-ancaman apa yang sedang atau diproyeksikan akan mengancam pencapaian tujuan nasional, misalnya krisis ekonomi, gangguan separatisme dan pemberontakan bersenjata, dan sebagainya.
Kedua, keamanan nasional juga bisa dilihat dari perspektif interest-based national security yaitu kepentingan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan nasional tersebut, misalnya mempertahankan integritas wilayah dan kedaulatan Indonesia, melindungi demokrasi dan pluralisme, dan sebagainya. Sedangkan yang ketiga, keamanan nasional dilihat dari aspek apa yang harus dilindungi, misalnya pertahanan negara, ketertiban umum, keamanan insani (individual).

Rabu, 03 Maret 2010

Langkah Paripurna Mengobati Hati Rakyat Indonesia

Akhirnya DPR  memutuskan kebijakan pemberian FPJP dan PMS untuk menyelamatkan Bank Century sebagai kebijakan bermasalah. Keputusan ini setelah dalam pemungutan suara, pemilih opsi C mengungguli pemilih opsi A.Hasil akhir pemungutan suara, pemilih opsi C yang mengatakan kebijakan pemberian FPJP dan PMS kepada Bank Century serta pelaksanaannya bermasalah sebanyak 325 orang. Sementara yang kontra, yakni yang menganggap kebijakan pemberian FPJP dan PMS kepada Bank Century serta pelaksanaannya sudah tepat untuk menyelamatkan perekonomian nasional hanya didukung 212 suara.

Hasil ini tidak jauh beda dengan pandangan akhir fraksi di awal paripurna. Pada saat itu 5 fraksi yakni FPG, FPDIP, FPKS, F-Gerindra, dan F-Hanura secara tegas menyebut memilih opsi C. 

Berikut perolehan suara selengkapnya yang dilakukan melalui voting terbuka:

Opsi A (Bailout (FPJP dan PMS) tidak bersalah)


Partai Demokrat: 148
Partai Golkar: 0
PDIP= 0
PKS = 0
PAN = 39
PPP= 0
PKB= 25
Gerindra: 0
Hanura: 0

Total: 212 suara

Opsi C (Bailout (FPJP dan PMS) bermasalah)


Partai Demokrat: 0
Partai Golkar: 104
PDIP= 90
PKS = 56
PAN = 0
PPP= 32
PKB= 1
Gerindra: 25
Hanura: 17

Total: 325 suara

Tidak ada satu pun anggota DPR yang memilih abstain. Sementara itu, dua orang dari Fraksi Partai Golkar tidak hadir, 4 orang dari FPDIP tidak hadir, 7 anggota FPAN tidak hadir, 6 anggota FPPP tidak hadir, dan 1 orang dari Gerindra tidak hadir.

ADA APA DENGAN SBY ?

Dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Sby, bukan hanya "melorot" popularitasnya di mata rakyat, namun dengan adanya pengakuan jujur tentang "tanggungjawab" nya selaku Kepala Negara atas kasus bail-out dana Bank Century, terkesan semakin memperjelas bagaimana sesungguhnya sosok Presiden NKRI ini. Sby yang sekarang sedang menakhkodai negeri tercinta untuk periode lima tahun yang kedua, memang tatkala tampil untuk pertama kali di panggung politik, dikenal sebagai sosok yang perlu dikasihani karena seolah-olah didzolimi, bersih, jujur, amanah dan bersahaja. Sby dikenal sebagai pensiunan jendral yang senang bergulat dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Sejak diketentaraanpun Sby sering dikirim untuk tugas belajar ke luar negeri. Bahkan beberapa tahun sebelum dirinya menjadi Presiden, Sby mampu menyabet gelar doktor ekonomi pertanian dari IPB. Sby pun dikenal sebagai pencinta seni. Buktinya sudah banyak album lagu yang ditulis dan dirilis ke masyarakat. Pertanyaannya adalah mengapa sekarang popularitasnya menjadi menurun ? Mengapa sekelompok suporter Persitara dengan mengendarai 3 mobil metro mini dan 1 bis mayasari yang sedang menuju stadion Kuningan secara spontan melempari iring-iringan mobil kepresidenan yang melaju di depannya ? Dan kenapa pula masyarakat menjadi kurang tertarik lagi terhadap apa-apa yang disampaikan oleh seorang Presidennya ?

Banyak analisis yang dapat diungkap mengapa hal yang demikian dapat terjadi ? Bisa saja karena ada anggapan bahwa kebijakan-kebijakan Pemerintah yang dijalankan selama ini dinilai kurang berpihak kepada kepentingan rakyat, sehingga hati nurani rakyat menjadi tersakiti. Sebagai contoh, ketika harga beras merangkak naik, ternyata Pemerintah santai-santai saja dan tidak sigap dalam mencari jalan keluarnya. Pemerintah ketika itu malah sibuk "berargumen" soal harga mobil mewah bagi para pejabat negara atau malah terlena dengan rencana membeli pesawat kepresidenan senilai 700 Milyar rupiah. Di mata rakyat harga mobil 1,3 Milyar atau pesawat udara 700 Milyar milyar itu cukup mencengangkan. Bagi para penerima manfaat program raskin misalnya, daya beli untuk menebus beras sejumlah 15 Kg dengan harga Rp. 1.600,-/Kg atau sekitar Rp. 24.000,- hampir tidak ada. Akibatnya beras raskin itupun dibagi rata dan dikenal dengan istilah "Rasta". Yang lebih memilukan adalah ketika bangsa ini sedang prihatin dan sebagian besar masyarakat sedang kelimpungan karena daya beli ekonomi yang makin lemah, tiba-tiba keluar Keputusan Pemerintah yang mengumumkan tentang kenaikan gaji pejabat negara. Padahal, dengan keadaan "gaji" yang diterimanya selama ini, para pejabat negara itu jelas sudah berkecukupan. Rumah gratis. Mobil cuma-cuma. Listrik, ledeng, telepon, makan, keamanan, ajudan, dan lain-lain sudah disediakan dan dibayar oleh negara. Jadi, lain cerita bila Pemerintah memiliki semangat untuk meningkatkan pendapatan petani yang selama ini hanya Rp. 540.000 perbulan menjadi Rp. 1.500.000 perbulan. Akibatnya wajar jika kemudian banyak pihak yang menuding bahwa dalam kepemimpinan 100 harinya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2, seolah-olah sedang terjangkit "autis politik". Asyik sendiri dan tidak hirau dengan orang-orang yang berada di sekeliling nya. Para pejabat lupa bahwa di ujung desa - desa ada retakan-retakan tanah yang dapat melahirkan longsor ketika curah hujan sangat tinggi. Para pengambil kebijakan tampak tidak "paham" ketika di sebuah kampung ada anak bangsa yang makan nasi aking. Tak kalah pentingnya untuk disampaikan, ternyata fenomena-fenomena kehidupan yang mengenaskan tersebut, seolah-olah luput dari perhatian para penentu kebijakan.

Untuk itu, sah-sah saja kalau banyak warga bangsa yang kecewa atas kepemimpinan Sby. Pemerintah tampak asyik dengan pola permainannya sendiri dan rakyatpun dipaksa untuk tetap menelan pil pahit kehidupannya. Adanya "jarak" dan "kualitas hidup" yang makin jauh antara penguasa dan rakyat, muncul menjadi masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Arogansi kekuasaan tentu harus dihindari dan jangan dilestarikan. Penguasa mestinya makin menurunkan "standing posision"nya, untuk mulai menyatu dengan aspirasi rakyat. Penguasa jangan ingin menjadi kelompok elit, sedangkan rakyat jangan mau terus-menerus menjadi anak bangsa yang terpinggirkan atau bahkan terhempaskan dari panggung pembangunan bangsa dan negara. Semangat egaliter tentu mutlak dikembangkan. Rasa cinta dan sayang akan nasib sesama, tetap harus ditumbuh-kembangkan. Makna seperasaan, senasib dan sepenanggungan juga penting untuk terus dihangatkan. Prinsip dan gaung : dari kita, oleh kita dan demi kita sesama anak bangsa, jangan pernah merasa lelah untuk dikumandangkan. Kita bangun negeri dan bangsa ini demi kesejahteraan rakyat yang makin berkualitas.

Kasus pelemparan suporter sepakbola yang "bersih politik", dan hanya sebagai penonton bola terhadap mobil iring-iringan Presiden, bisa jadi merupakan "protes" terhadap gambaran nyata kehidupan. Mereka bisa saja kesal karena keinginannya untuk cepat sampai ke tujuan menjadi terhambat karena adanya iring-iringan mobil kepresidenan. Mereka boleh saja berargumen bahwa tindakannya itu hanya sekedar iseng. Atau bisa juga sikap yang dilakukannya itu bagian dari sebuah "penggugatan" terhadap kiprah para penguasa yang semakin terasing dari warga bangsanya sendiri.

Suka ataupun tidak, sekarang ini rakyat semakin cerdas. Rakyat sudah tidak mungkin dapat diiming-imingi oleh janji-janji gombal. Rakyat sudah mengenali mana kebijakan yang berpihak dan mana yang sifatnya karikatif. Oleh karena itu, rakyat pasti mencatat dan dapat membuat komentar jika ditanyakan kepada mereka apakah dalam kebijakan-kebijakan nya sejak Presiden Sby dilantik jadi Presiden NKRI 2009-2014 lebih mengedepankan "pro rakyat" atau tidak ? Apakah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 mampu memahami dan menghayati "suara rakyat" yang ada disekitar nya atau tidak ?

Barangkali kasus pelemparan yang dilakukan oleh sekelompok suporter bola terhadap iring-iringan mobil kepresiden, sepantasnya mampu menjawab pertanyaan : ada apa dengan Sby ?

Dimana Letak keadilan Kita ???.....

Inna Lillahi wa Inna Ilaihi rojiun, turut berduka cita atas kematian keadilan hukum di Pandeglang, Sahabat kita Yogi dan Fatul, mahasiswa UNMA, di jatuhi Vonis 6 bulan Penjara, dan 1 tahun tahanan percobaan.

Saya pernah menghadiri sidang sahabat kita Yogi dan Fatul, dari sekian saksi yang di hadirkan dari mulai Satpol PP, Polisi, tukang las pagar, tidak ada satupun yang mengatakan melihat dengan pasti bahwa merekalah yang merusakan pagar. Saksi-saksi hanya bilang bahwa mereka ada di sana bersama massa .

Jika sahabat kami, berdasarkan saksi-saksi yang tidak jelas di vonis 6 bulan penjara, dan 1 tahun percobaan, maka Dimyati Natakusumah, berdasarkan keterangan saksi yang terang benderang, harus di hukum sesuai dengan tuntutan Jaksa, yaitu, seumur hidup.

Kasus dimyati benar-benar sudah membuat rakyat pandeglang berdarah-darah, jika ternyata bebas, sebaiknya kita "rakyat" lebih baik perang saja.(*)