Jumat, 20 Agustus 2010

------------ Kekuasaan ------------

Sudah jelas ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan pertama kemerdekaan adalah supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan setelah kita bebas dari kolonialisme selanjutnya ingin melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya (tujuan ideal kemerdekaan sebuah bangsa dan negara). Pertanyaannya, mengapa setelah 65 tahun menjadi bangsa yang merdeka tujuan untuk memajukan kesejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa belum juga terwujud? Apanya yang salah dan siapa yang salah?
Adalah mustahil sebuah negara dan bangsa akan sejahtera, adil dan makmur manakala negara tersebut mengabaikan pembangunan di bidang politik, hukum dan ekonomi. Dari ketiga matra tersebut, pembangunan politik merupakan landasan utama perjalanan sebuah bangsa. Sebab, maju mundurnya peradaban sebuah bangsa sangat tergantung pada pembangunan politiknya. Adakah kemauan politik dari para penguasa negeri ini untuk segera membebaskan negara yang kita cintai ini dari berbagai macam kemunduran di bidang hukum, ekonomi dan pendidikan?
Ada anggapan yang menerangkan dalam membangun negara kerap kali salah, yakni yang dibangun bukan negara Indonesia melainkan memperkuat kedudukan para elite penguasa. Mestinya kita harus mau belajar pada sejarah, mengapa kerajaan Majapahit yang demikian besar dan kokoh akhirnya amblas disapu gelombang peradabannya sendiri? Jawabannya tak lain dan tak bukan karena apa pun landasan teori, pada akhirnya yang bisa menguasai negara hanyalah segolongan kecil orang saja, sementara golongan terbesar adalah barisan rakyat yang harus tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang dibuat oleh negara/pemerintah.
Ketika yang dibangun hanya kekuasaan an sich, justru negara tersebut (rakyat) akan terpinggirkan. Selanjutnya, ketika kezaliman para penguasa semakin memuncak, rakyat akan menghimpun seluruh kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan (rezim). Sementara, negara sebagai konsep yang abstrak tetap utuh, yang jatuh hanyalah penguasa yang korup.
Hingga sekarang, belum ada jaminan bahwa orang yang sedang berkuasa, pasti tidak akan mabuk dan tidak akan bertindak sewenang-wenang, yang ada barulah sekadar janji-janji, yakni ketika belum menjadi penguasa berjanji akan berbuat begini atau akan berbuat begitu.
Membangun negara tidaklah sesulit seperti yang kita bayangkan, yang paling sulit justru bagaimana cara menghilangkan sikap rakus dan sewenang-wenang dari para penguasanya. Hukum hanyalah sekadar alat, maka ketika yang memegang alat itu ''para bandit yang pemabuk'', malah sangat mengerikan akibatnya. Sebab, bisa saja yang salah jadi benar dan yang benar justru jadi salah.
Kekuasan memang kerap membuat siapapun mabuk. Bahkan, bisa membuat terlena. Adalah hal yang wajar, idealnya memang perlu ada batasan waktu untuk menikmati kedudukan. Sebab, paling tidak virus kekuasaan yang membuat orang lupa diri bisa dihindari.....)*

Kamis, 19 Agustus 2010

Tujuh Belas Agustus dan Reformasi.....

Tujuh Belas Agustus adalah tanggal bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Selalu ada perasaan campur aduk saat melaluinya. Bahkan, sekedar mendengar energi berbeda segera mengalir dalam tubuh. Peristiwa di tanggal itu adalah awal perjalanan panjang tanpa tahu batasnya bagi bangsa ini untuk merengkuh cita-citanya.

"Kemerdekaan" adalah kata, peristiwa, sifat, yang luar biasa. Jangankan bangsa. Bahkan, Tuhan mengutus Nabi dan RasulNya dengan misi untuk menjadikan manusia merdeka melalui PetunjukNya.

Pendiri bangsa ini adalah tokoh-tokoh hebat. Mereka sadar apa dan bagaimana merdeka dalam arti sesungguhnya. Mereka merumuskan pijakan dasar bangsa yang sangat visioner, Pancasila. Para pendiri bangsa tersebut telah pula mendeskripsikan secara ringkas tujuan dibentuknya Indonesia melalui Pembukaan UUD 45. Sungguh beruntung bangsa sebesar dan seberagam ini mempunyai para pendiri yang beriman, bervisi, dan
toleran.

Soekarno memulai kerja besar bangsa ini dengan meneguhkan jati diri bangsa secara fisik dan ideologis. Wilayah negara dan landasan berpikir dikonsolidasi. Dengan berbagai gejolak sebagai bangsa yang baru lahir dengan jangkauan kebhinekaan luar biasa Soekarno mati-matian menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa yang lahir pada 1945 ini.

Soeharto meneruskan langkah pendahulunya dengan cara berbeda. Ia memulai dan melakukannya dengan prinsip sederhana. Rakyat harus cukup makan. Tak heran pada 1984 Indonesia menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya (beras) secara mandiri setelah merangkak dari negara pengimpor beras terbesar di dunia pada awal 1970-an.

Ia juga meyakini bahwa dengan industrialisasi maka bukan hanya pangan. Tapi, kebutuhan lain juga akan terpenuhi melalui penghasilan yang akan diperoleh dari hasil produksi.

Namun, kerja besar Soeharto berakhir serupa dengan Soekarno. Penolakan luas terjadi di seluruh negeri. Rakyat tak puas terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang bermuara pada runtuhnya sendi-sendi moral bangsa. Kemakmuran dibayar dengan kemerosotan akhlak yang masif. Tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan dari tingkat paling atas hingga terbawah.

"Reformasi" kemudian muncul sebagai "mantera" sebagaimana "Pancasila" pada masa Orde Baru. Ia menjanjikan dan memberikan mimpi, harapan, dan semangat indah. Merdeka dari kemiskinan, ketergantungan, penindasan. Kata reformasi digunakan sebagai latar belakang sambutan pejabat, dokumen kebijakan, dan berbagai naskah dalam pemerintahan.

Ia juga ditulis sebagai dasar dan tujuan yang wajib tercantum dalam kampanye pemilihan kepala daerah atau dewan perwakilan rakyat. Namun, setelah lebih dari satu dasawarsa, ia tetaplah sebuah kata yang tak bermakna dan kadangkala "menyebalkan" bagi sebagian rakyat negeri ini.

Ia adalah mantera yang tak mengubah "kodok" menjadi, paling tidak bocah, untuk tidak mengatakan "pangeran". Dan, akhirnya ia tak lebih dari jampi-jampi politik yang teronggok di dalam dokumen-dokumen resmi yang tak kunjung berujud sebagai kekuatan yang nyata.

Yang lebih menyedihkan mereka sebagian yang semestinya mewujudkan reformasi sebagai mesin pembebas bangsa justru tak jarang tak ingat lagi tentang amanat itu. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan kemudian lebih celaka ini dilakukan secara "berjamaah".

Bangsa ini seolah mengulang kesalahan yang sama. Jika di masa Orde Baru "jamaah" ini ibarat piramida yang berpusat di satu titik puncak. Maka di masa ini bentuknya berubah seperti piramida terpotong bagian atas yang jauh lebih lebar pada bagian bawahnya. Pusatnya tersebar namun daya jangkaunya makin luas. "The World is Flat" versi Indonesia.

Kemerdekaan akhirnya benar-benar mahal. Bahkan, sangat mahal. Ia hanya dapat dimiliki oleh mereka yang notabene memiliki kekuasaan ekonomi. Tanpa itu siapa pun harus bersiap untuk terjajah oleh kekurangan penghasilan, akses pendidikan yang baik, sarana kesehatan, apalagi hukum.

Bagaikan pungguk merindukan bulan. Kemerdekaan yang hakiki ternyata masihlah cita-cita. Ketergantungan dan ketakutan pada bangsa asing, kemiskinan, kekurangan pendidikan dan kesehatan, ketakberdayaan dalam hukum menjadikan bangsa ini pada dasarnya masih "terjajah".

Bila merdeka diibaratkan kibaran bendera di tiang yang tegak, maka tiang itu kini masih miring. Semua orang di negeri ini mengemban kewajiban menegakkannya. Kehormatan bagi anak bangsa saat ikut menopang dan menegakkan tiang itu. Meski mungkin saat ajal tiba tiang itu masih belum tegak. Insya Allah Tuhan akan menyambut dengan hamparan permadani ridla-nya.

Dan akhirnya di tengah perjuangan meraih kemerdekaan sejati tak ada salahnya kita menyambut hari "kemerdekaan" ini dengan memekikkan kata "MERDEKA". Semoga Tuhan mengabulkan harapan bangsa ini. Amin.

Nasionalisme di Tengah Emosi

Beberapa minggu ini rakyat diajak untuk ikut emosi oleh beberapa persoalan. Pertama, persoalan terorisme yang sangat gencar diberitakan media dan kepolisian. Hampir setiap hari dan hampir semua stasiun televisi berlomba menayangkan berita dan analisa mengenai terorisme.

Rakyat diajak waspada. Rakyat diajak takut. Rakyat diajak membenci suatu obyek yang tidak mampu melakukan perlawanan opini. Karena, tidak pernah ada ruang untuk menjelaskan jati diri dan semua aksi yang telah terjadi. Yang lebih memprihatinkan adalah rakyat diajak curiga satu sama lainnya. Bahkan, korban telah terjadi. Ada warga yang diusir dari tempat tinggalnya oleh warga lain karena dituduh sebagai teroris.

Kegagalan polisi menyelesaikan aksi-aksi teror yang telah lama terjadi di negeri ini menyebabkan polisi bertindak ceroboh dan gegabah. Polisi memperluas permusuhannya. Bukan hanya kepada teroris. Tapi, juga kepada umat Islam dengan instruksi mengawasi setiap aktivitas dakwah yang ada dan mencurigai semua orang yang menggunakan atribut agama. Polisi juga telah mengajak rakyat mewaspadai hal-hal baik dan orang-orang baik. Yang pada ujungnya tidak mustahil polisi akan mengajak rakyat membenci kebaikan dan orang-orang baik.

Apa yang dilakukan aparat saat ini persis seperti yang telah dilakukan oleh rezim Orde Baru yang memusuhi kebaikan. Era 80-an ditandai dengan pelarangan muslimah mengenakan jilbab dan sempitnya ruang untuk berdakwah. Setiap ustad yang mau ceramah harus memiliki SIM alias Surat Izin Mubaligh.

Kegiatan-kegiatan keagamaan selalu ditongkrongi polisi dan harus mendapat izin resmi. Negara pada saat itu juga mempertentangkan agama dan Pancasila yang melaksanakan agama dianggap tidak setia pada Pancasila. Semua harus turut dalam keseragaman yang disebut azaz tunggal. Negara seperti mengalami amnesia bahwa kata jihad dan teriakan Allohuakbarlah yang sesungguh telah mewarnai hari-hari perjuangan bangsa ini untuk menjadi bangsa yang
merdeka.

Persoalan kedua, adalah persoalan klaim budaya oleh Malaysia. Selama ini banyak atribut dan artifac budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia. Dari mulai batik, keris, wayang, reog Ponorogo, sampai terakhir tari pendet. Malaysia sendiri sudah mengklarifikasi dan mengatakan tidak pernah berniat mengklaim tari pendet sebagai budaya asli Malaysia. Justru Malaysia menjelaskan asal usul tari pendet yang berasal dari Bali itu.

Tapi, rakyat sudah terlanjur dilibatkan dan diajak untuk ikut emosi. Sehingga, meski mereka tidak pernah menonton film promosi budaya Malaysia yang tayang di Discovery Channel, dengan penuh percaya diri mereka turut dalam demonstrasi.

Persoalan ketiga, adalah persoalan tiga pulau yang dijual di Mentawai. Isu ini ternyata bukan hal baru. Sejak tahun 2005 sudah ada tujuh pulau termasuk di Karimunjawa dan Manggarai yang dijual. Pemerintah tahu mengenai penjualan ini. Namun, Pemerintah seolah tutup mata dan merasa tak berdaya dengan mengatakan penjualan terjadi karena pulau itu bukan milik pemerintah. Tetapi, milik warga dan warga yang telah menjualnya.

Dari persoalan-persoalan tersebut di atas efek positif yang muncul adalah rakyat disadarkan bahwa kita sesungguhnya benar-benar bangsa yang kaya. Bukan cuma kaya secara fisik, dengan keindahan alam, kesuburan tanah, kekayaan kandungan bumi, kekayaan isi lautan dan lain sebagainya, melainkan juga kaya akan budaya.

Efek positif lainnya adalah munculnya kecintaan pada bangsa dan semangat untuk membelanya. Saya yakin seluruh anak negeri bangkit kecintaannya pada Bumi Pertiwi dan bersemangat untuk membela Ibu Pertiwi ketika menyadari bahwa apa yang kita punya satu per satu sirna. Namun, persoalannya kita juga menjadi miris dan sakit hati. Karena, semua kekayaan kita selama ini tak bisa kita nikmati.

Bukan semata-mata sakit hati dengan bangsa asing yang mengakuisisi kekayaan alam kita, yang telah mengklaim budaya kita, yang telah mengeksploitasi sumber-sumber kehidupan kita. Tapi, kita juga sakit hati kepada elit-elit dan pemimpin negeri yang telah mendapat amanah untuk menjaga NKRI namun tak mampu merawat, menjaga, dan mengembangkan seluruh kekayaan alam dan kekayaan budaya yang kita miliki. 

Rakyat diajak menjadi nasionalis, rakyat diajak cinta negeri, tapi diam-diam mereka menjual semua aset negeri dan harga diri bangsa ini kepada bangsa-bangsa lain. Kita bisa menyaksikan bagaimana daratan Singapura yang setiap harinya bertambah luas karena pasokan pasir dari Indonesia namun pemerintah seperti tutup mata.

Kita bisa menyaksikan bagaimana lahan-lahan perkebunan yang subur di wilayah Sumatera telah menjadi milik pengusaha-pengusaha Malaysia dan Singupura. Sementara penduduk asli dipaksa mengungsi. Kita bisa menyaksikan satelit palapa yang menjadi kebanggaan anak bangsa secara sadar dijual murah kepada Singapura. Kita bisa menyaksikan lahan-lahan kaya tambang dan gas kita telah dikuasai korporasi dunia yang tak berjiwa.

Kita bisa menyaksikan penenun dan pelukis batik yang hidupnya termarginalkan di desa-desa di pinggir kota. Kita bisa menyaksikan seniman-seniman tradisional yang hidup jauh dari sejahtera, dan masih banyak lagi bukti bahwa para pemimpin kita tidak pernah serius dalam merawat, menjaga, dan mengembangkan kekayaan yang kita miliki.

Saya berharap rakyat kita tidak terjebak permainan emosi yang sedang dilakukan elit-elit negeri. Rakyat mesti waspada dari setiap praktek adu domba dan pengalihan isu atas hak-hak kesejahteraan, hak-hak ketentraman dan keamanan yang seharusnya mereka miliki yang gagal dipenuhi pemerintahan saat ini.

Rakyat perlu membangun posisi tawar baru dalam setiap mobilisasi yang mengatasnamakan cinta terhadap negeri. Rakyat mesti berani menuntut pengembalian semua aset ekonomi dan aset budaya yang selama ini secara sengaja dikuasakan kepada bangsa-bangsa lain. Semoga keberanian itu segera datang....)***

Nasionalisme, Mau Dibawa ke Mana...???

Berbagai permasalahan yang menggelayuti bangsa kita dari mulai korupsi, lemahnya penegakan hukum, kemiskinan, lemahnya daya saing, hingga degradasi moral seakan terus mengikis rasa bangga kita pada Indonesia. Proses memudarnya identitas nasional juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kini life style ala Barat yang materialistik menjadi sesuatu yang digandrungi oleh muda-mudi kita. Seakan kehilangan identitas sebagai bangsa relijius yang menjunjung etika ketimuran. Bahkan, angka hubungan seks di luar nikah di Indonesia mencapai 40-45%(BKKN).

Wacana-wacana negatif di atas seakan menggoyahkan rasa nasionalisme kita sebagai insan yang terlanjur memiliki identitas sebagai putra-putri Bumi Pertiwi Putra-putri Indonesia. Adakah 65 tahun kemerdekaan telah benar-benar menghilangkan ungkapan "aku malu menjadi bangsa Indonesia". 

Nasionalisme sangat penting bagi suatu bangsa agar bisa survive dalam percaturan global. Nasionalisme akan menjaga kedaulatan dalam satu identitas bersama. Nasionalisme juga berperan sebagai inspirasi yang menjadi motivasi bagi individu bangsa secara kolektif untuk berprestasi. Dalam iklim persaingan kapitalistik ditingkat global nasionalisme merupakan modal untuk membangun harga diri yang pada gilirannya akan membangun bargaining position yang kuat dalam persaingan.

Membangun rasa nasionalisme menjadi mendesak di tengah persaingan global yang datang menjamah dari kiri dan kanan, depan dan belakang, serta di tengah identitas nasional yang semakin tergerus. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah nasionalisme seperti apa yang dibutuhkan untuk dibangun "ke mana arahnya". Mau dibawa ke mana? 

Menurut Sulfikar Amir Pengajar Sosiologi di Universitas Nanyang Singapura nasionalisme Indonesia masih berbentuk sebagai nasionalisme yang "menghadap ke belakang" bukan "menghadap ke depan". Artinya nasionalisme kita masih berbentuk mitos-mitos tentang superioritas yang "terinstitusionalisasi". Nasionalisme merupakan khayalan-khayalan yang digunakan penguasa untuk memobilisasi massa untuk kepentingan politik dalam bentuk kooptasi-kooptasi. Hal ini terlihat kental di masa Orde Baru.

Nasionalisme harus diubah menjadi future oriented. Nasionalisme yang menghadap ke depan di mana materi nasionalisme bukan sekedar utopia-utopia yang dibumbui cerita sejarah tentang kejayaan Kerajaan Majapahit misalnya. Namun, nasionalisme harus menjelma menjadi semangat visioner yang menginterpretasikan Indonesia sebagai negara bangsa yang hidup di dunia modern. Memandang Indonesia sebagai "land of promise" bukan sekedar "land of legacy". Berpindah dari Nasionalisme Simbolik ke Nasionalisme Substantif.

Maraknya gerakan untuk memakai batik di kalangan kawula muda, pertunjukan kolaborasi angklung dengan musik modern, marahnya masyarakat akibat sabotase negri jiran atas tari pendet tentu merupakana hal-hal yang patut disyukuri. Namun, pengejawantahan nasionalisme belum berhenti dalam hal-hal yang sifatnya simbolik itu.

Nasionalisme harus diejawantahkan dalam bentuk yang lebih substantif. Nasionalisme sebagai sebuah konsep yang sifatnya abstrak harus ditransformasikan menjadi bentuk yang lebih konkrit yaitu kesejahteraan yang adil dan tidak bersifat semu.

Dalam proses transformasi itu nasionalisme akan berhadapan dengan tantangan-tantangan. Dalam memandang nasionalisme dengan cetakan menghadap ke depan maka nasionalisme kini ditantang
oleh isu-isu global dan domestik.

Tantangan Aktual Nasionalisme
Di tingkat global kita ditantang oleh perdagangan bebas. Global trade menurut Joseph Stiglitz dalam bukunya "Making Globalization Work" merupakan sebuah keniscayaan yang tidak satu pun bangsa di dunia dapat lari darinya. Yang bisa dilakukan adalah terlibat di dalamnya mengambil keuntungan dari dalamnya dengan melakukan pengakalan-pengakalan untuk meminimalisir resiko-resikonya.

Pengakalan-pengakalan itu biasanya dalam bentuk kebijakan-kebijakan ekonomi serta inisiasi-inisiasi untuk menstimulus aksi dari pelaku usaha untuk beradaptasi dengan persaingan. Negara yang tidak sanggup beradaptasi dengan globalisasi akan menjadi korban dari penjajahan ekonomi negara-negara maju. Pada titik ini membangun nasionalisme pada individu bangsa akan menjadi seperti menegakan benang basah.

Hendri Saparini merupakan salah satu ekonom mengkampanyekan ekonomi konstitusi sebagai solusi menghadapi persaingan global. Menurutnya ekonomi bangsa harus dikembalikan kepada spirit pancasila dan konstitusi kita di mana arahnya adalah pro kesejahteraan rakyat dan bukan pro liberalisasi dan pasar tanpa berfokus pada keadilan.

Pembangunan ekonomi akan berdampak pada perbaikan sendi-sendi lain yang akan menjawab tantangan-tantangan nasionalisme yang lain. Di antaranya adalah separatisme dan ancaman gerakan subversif. Dua hal itu merupakan isu yang cukup hangat belakangan ini. Upaya deradikalisasi yang sifatnya sosiologis dan penindakan terhadap terorisme dengan menggunakan senjata untuk membungkam terorisme harus didukung pula dengan peningkatan kesejahteraan.

Apabila negara telah menjamin kesejahteraan rakyatnya peluang menyebarnya ideologi radikal akan mengecil. Terorisme bisa jadi lebih merupakan ekses dari frustasi masyarakat kelas bawah atas kegagalan sistem yang ada memenuhi hajat hidup mereka.

Seorang pengamat terorisme Barat mengatakan jika Indonesia ingin melakukan deradikalisasi jalannya adalah justru dengan memberi ruang kepada elemen-elemen radikal itu mengungkapkan gagasannya. Demokrasi yang kini dibangun menurutnya masih belum mewadahi aspirasi dari semua elemen.

Dengan sendirinya akan terbangun simpati dari kelompok radikal terhadap pemerintah sebagai penggerak sistem yang ada sehingga dengan komunikasi yang terbangun radikalisasi akan teredam. Dengan adanya akomodasi yang proporsional akan membawa elemen-elemen yang ingin mengubah sistem menjalankan aksinya melalui jalan yang sesuai dengan konstitusi.

Di antara tantangan domestik lain yang berpotensi merongrong nasionalisme yang sekarang ini sedang hangat adalah mengenai kebhinekaan. Harus diakui takdir kita untuk hidup dalam negara multiagama, multietnis, dan beragam adat istiadat ini cukup merepotkan kita untuk mengharmonisasikannya. Seperti sebuah ungkapan "sering kali bukan masalah benar dan salah kita bertengkar, namun hanya karena kita berbeda kita berselisih".

Nasionalisme kita ditantang sejauh mana dapat mengatasi pelbagai perbedaan yang ada itu. Bisakah Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat lebih tangguh untuk mewarnai sendi-sendi hidup kita dan meredam semua konflik? Azyumardi Azra berupaya mencari jawaban untuk pertanyaan ini dengan gagasannya mengenai revitalisasi Pancasila.

Menurutnya Pancasila merupakan ideologi terbuka harus terus dikaji, didiskusikan, guna dapat beradaptasi dengan berbagai problema zaman. Pancasila bukan sebuah ideologi dogmatis yang absen dari pengkajian dan dibiarkan sebagai formalitas semata seperti yang terjadi sekarang.

Bangsa yang berdaulat dinilai juga dari sejauh mana ia dapat menjaga teritorinya dari disintegrasi maupun pencaplokan bangsa lain.Ini adalah tantangan nasionalisme yang lain. Ada sekitar 92 pulau terluar di Indonesia dan 12 di antaranya rawan memicu konflik. Kebijakan pertahanan kemanan Indonesia harus memberi perhatian lebih dalam penjagaan pulau terluar.

Membangun daerah-daerah perbatasan juga merupakan hal serius untuk mencegah potensi disintegrasi dan pencaplokan. Sesuatu yang menggembirakan bahwa di beberapa daerah perbatasan telah dibangun sarana-sarana pendidikan seperti fasilitas internet untuk meningkatkan pendidikan masyarakat setempat.

Membangun nasionalisme merupakan tugas yang sangat penting untuk menghadapi persaingan. Pembangunan nasionalisme substantif diarahkan pada isu-isu strategis dan urgen saat ini yaitu, membangun ekonomi nasionalisme yang sesuai konstitusi, memecahkan problem kebhinnekaan, merevitalisasi Pancasila untuk lebih membangun persatuan bangsa dan penjagaan pulau-pulau terluar untuk menjaga kedaulatan.

Ini tugas seluruh elemen bangsa. Belum terlambat.

Rabu, 18 Agustus 2010

GERINDRA ANCAM TARIK DUKUNGAN DARI EDI-APRILYA



DPC Partai Gerindra Pandeglang merasa sangat kecewa pada Pasangan Siap Bangkit (Edi Suhaedi - Aprilya Hendiasaty Putri) yang dinilai tidak respek terhadap partai pengusungnya. Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penjaringan dan Verifikasi, A Ucu SN, Senin 17/08, di Sekretariat Jl. Raya Labuan Km.3 Komplek PIPWS No. B1, Saruni Majasari, Pandeglang.

Sebagai partai pengusung, menurut Ucu, awalnya Gerindra yakin bahwa pasangan calon bernomor urut 2(dua) itu dapat bersaing dengan pasangan calon manapun. Karena selain Edi – April sendiri memiliki basis massa fanatik, ditambah dukungan banyak parpol baik yg bercokol di parlemen maupun non parlemen. Namun sayang pada perkembangannya, banyak hal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang paling mendasar adalah, komunikasi antar partai pendukung sendiri.

“Kami kecewa pada Edi–April. awalnya kami yakin calon yang kami usung dapat bersaing dengan pasangan calon manapun. tapi kemudian saya melihat ada beberapa hal yang harus di perhatikan, salah satunya komunikasi antar partai pengusung.” Kata Ucu.

Ketua DPC Partai Gerindra Pandeglang, Asep Mulyadi, membenarkan apa yang diungkapkan Ucu saat ditemui di kediamannya di Komplek Pesantren Riyadhul Alfiyah, Kadu Kaweng, Pandeglang (18/08). Menurut Asep, pihaknya selaku partai pendukung selama ini merasa didiamkan oleh timses Edi-April.

“selama ini kami merasa didiamkan. Terus terang kami tidak tahu harus melangkah seperti apa, sementara komunikasi berjalan tidak efektif. Sementara Pemilukada semakin dekat. Bila kondisi ini berlarut, kami takkan ragu mencabut dukungan dan memilih tidak mendukung calon manapun.” Kata Asep.

Lebih lanjut Asep menyatakan bahwa, pihaknya mendapat teguran keras dari DPP Partai Gerindra terkait masalah ini. “DPP Partai Gerindra memantau konstelasi politik yang ada di Pandeglang. Bahkan kami juga sudah menerima surat dari pimpinan kami yang meminta kami tegas untuk menentukan sikap politik.” Terang Asep.

Dihubungi terpisah, Wakil Sekretaris DPC PBB Pandeglang, Bayu Kusumah, menganggap wajar jika parpol pengusung dan pendukung “Siap Bangkit” mengancam menarik dukungannya. Itu akibat tidak jelasnya komitmen antara parpol dengan pasangan Edi-April. Sehingga parpol sulit bergerak sebagaimana parpol pendukung pasangan lain.

“Benar kami juga melihat ada hal yang tidak beres, terutama pelaksanaan komitmen yang tidak jelas. Ini preseden buruk dan bukan mustahil pasangan Siap Bangkit akan ditinggalkan parpol dan mengalihkan dukungan ke calon lain.” Tegas Bayu.

Diinformasikan, pemilukada Pandeglang 2010 diikuti enam pasangan calon. Yaitu, Yoyon Sujana, SE dan M. Oyim, SE (Nomor urut 1). Edi Suhaedi, SH, MM. dan Hj. Apryliani H. Putri SE (Nomor urut 2). Drs.H.Djadjat Mudjahidin dan Ir.H.Endjat Sudrajat (Nomor urut 3). Sunarto, SE dan Agus Wahyu Wardana (Nomor Urut 4). Hj. Irna Narulita,SE,MM dan H. Apud Mahpud (Nomor Urut 5) dan Drs.H.Erwan Kurtubi,MM dan Hj.Heryani (Nomor Urut 6). ''LUCKY''

Rabu, 04 Agustus 2010

Polda Banten Diminta Transparan

Forum Kajian Sosial dan Budaya (Foksad) Banten minta Polda Banten transparan untuk menangani masalah dugaan unprosedural dalam tender alat kesehatan (alkes) tahun 2009 yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 44 miliar. Hal itu disampaikan Hafid ketika dengar pendapat dengan sejumlah pejabat Polda Banten di Aula Mapolda Banten, Rabu (4/8).
Pihaknya meminta hal ini karena berdasarkan bukti sebanyak 21 lembar yang diserahkan diduga terdapat indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 44 miliar. “Kami telah laporkan dan serahkan data-data sebagai bahan awal. Data tersebut lengkap. Polisi tinggal mengolah saja dengan memanggil pihak terkait.
Oleh karena itu diminta agar penyidik Polda Banten bertindak profesional dan independen mengusut kasus tersebut tanpa ada kepentingan dan campur tangan dari berbagai pihak. “Polisi merupakan institusi independen. Jadi sudah selayaknya dalam melakukan penyelidikan bekerja profesional dan sesuai  prosedur. Saya berharap tidak ada rekayasa dalam penyelesaian kasus ini,” kata Hafid.
Selain itu diminta tim penyidik lebih selangkah maju untuk memeriksa perusahaan yang terlibat dalam proses tender tersebut agar kasus ini tidak jalan di tempat. Dari 50 perusahaan minimal bisa dipanggil 15 perusahaan untuk dimintai keterangan untuk membuktikan ada tidak indikasi unprosedural dalam tender tersebut.
Dalam kesempatan itu, Hafid meminta agar kapolri untuk mengkaji kinerja Polda Banten. Jika dalam 3 X 30 hari kasus tersebut tidak selesai maka sebaiknya jabatan Kapolda Banten ditinjau ulang. “Penyelidik harus cepat bergerak. Selain memeriksa 4 saksi awal diharap memeriksa saksi lainnya untuk proses penyelidikan.
Menanggapi hal ini Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan menuturkan, audensi yang digelar pihaknya bersama Foksad merupakan bentuk transparansi pihaknya mengenai perkembangan kasus dugaan korupsi alkes. “Kami tranparan tentang penyelidikan dan tidak memainkan kasus tersebut.
Perkembangan kasus ini ini sendiri, kata AKBP Gunawan, masih dalam penyelidikan. Pihaknya masih mengumpulkan saksi dan melakukan pemanggilan untuk mengungkap kasus. “Kami masih mendalami kasus ini karena untuk membuktikan ada atau tidaknya kerugian negara harus lengkap. Misalnya hasil pemeriksaan, ada audit dari BPK, maupun lainnya. Kami tidak bisa menuduh seseorang tanpa ada bukti.)*