Kita patut bersyukur, iklim kebebasan di negeri ini begitu tampak, bila dibandingkan semasa Orde Baru. Kini, foto presiden, wakil presiden, menteri, kapolri, jaksa agung, bila ada sesuatu yang tidak berkenan kepada mereka, bisa dimanipulasi bahkan bisa dibakar sak suka-suka.
Yang terkini, suara Marsilam Simanjuntak, bisa dimanipulasi menjadi suara Robert Tantular, seperti yang disampaikan dalam transkrip rekaman percakapan Sri Mulyani, yang disampaikan Bambang Susatyo, anggota Pansus Angket Bank Century.
Memang kebebasan berpendapat dijamin oleh deklarasi HAM PBB dan juga Pasal 28 amandemen kedua UUD 1945.
Soalnya kemudian, kebebasan seperti apa yang dimaksudkan dalam dua legalitas formal itu? Bagaimana cara menggunakan kebebasan yang ada? Apakah dengan adanya kebebasan, seseorang bisa dibenarkan untuk menginjak-injak HAM orang lain. Atau kebebasan yang dimaksud, hanya berlaku untuk orang-orang tertentu?
Misalnya, Bambang boleh bebas, tetapi Badu tidak memiliki kebebasan seperti Bambang. Ketika kebebasan versi Bambang mendapat pembenaran secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah malapetaka bagi kebebasan itu sendiri. Soalnya, untuk menafsirkan arti kebebasan, hanya kelompok Bambang yang berhak, sementara individu yang lain tidak.
Sepantasnya, ada kerangka yang lebih besar untuk dilihat. Soal kepastian penafsiran dan ketentraman sosial di masyarakat. Bila kebebasan seperti yang dimiliki Bambang dan kelompoknya sudah memang menjadi kehendak, maka ada dua kutub yang saling bertentangan dalam kehidupan berbangsa.
Satu sisi, ada manusia yang memiliki kekebalan untuk menista siapa saja, disisi lain ada manusia yang nasibnya memang untuk dinista. Bila demikian, dalam skala proses penataan norma kehidupan, tragedi puncaknya nanti, masyarakat akan bersahabat dan akrab dengan tindakan kejahatan, karena merasa memiliki frame kebebasan secara sendiri-sendiri.
Guna terhindar dari hal yang demikian, tak ada pilihan lain, seperti yang diungkapkan Charles J.Roro, wartawan Atlantic Monthly, ketika mengomentari The Rebel, karya Albert Camus......disini tidak ditemukan jejak-jejak sentimentalis, retorika ataupun jargon-jargon yang hanya dipahami selegintir orang......di sini kita dapat mendengar suara manusia yang teguh memegang nilai-nilai kesusilaan.
Jadi, terapkan hukum dengan rasa keadilan, berdasarkan fakta-fakta dan kesaksian. Bukan atas nama persekongkolan, tekanan opini atau rasa kebencian.
Beranikah kita mengatakan yang benar itu benar, walaupun itu harus terasa getir dan pahit.(*)
Yang terkini, suara Marsilam Simanjuntak, bisa dimanipulasi menjadi suara Robert Tantular, seperti yang disampaikan dalam transkrip rekaman percakapan Sri Mulyani, yang disampaikan Bambang Susatyo, anggota Pansus Angket Bank Century.
Memang kebebasan berpendapat dijamin oleh deklarasi HAM PBB dan juga Pasal 28 amandemen kedua UUD 1945.
Soalnya kemudian, kebebasan seperti apa yang dimaksudkan dalam dua legalitas formal itu? Bagaimana cara menggunakan kebebasan yang ada? Apakah dengan adanya kebebasan, seseorang bisa dibenarkan untuk menginjak-injak HAM orang lain. Atau kebebasan yang dimaksud, hanya berlaku untuk orang-orang tertentu?
Misalnya, Bambang boleh bebas, tetapi Badu tidak memiliki kebebasan seperti Bambang. Ketika kebebasan versi Bambang mendapat pembenaran secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah malapetaka bagi kebebasan itu sendiri. Soalnya, untuk menafsirkan arti kebebasan, hanya kelompok Bambang yang berhak, sementara individu yang lain tidak.
Sepantasnya, ada kerangka yang lebih besar untuk dilihat. Soal kepastian penafsiran dan ketentraman sosial di masyarakat. Bila kebebasan seperti yang dimiliki Bambang dan kelompoknya sudah memang menjadi kehendak, maka ada dua kutub yang saling bertentangan dalam kehidupan berbangsa.
Satu sisi, ada manusia yang memiliki kekebalan untuk menista siapa saja, disisi lain ada manusia yang nasibnya memang untuk dinista. Bila demikian, dalam skala proses penataan norma kehidupan, tragedi puncaknya nanti, masyarakat akan bersahabat dan akrab dengan tindakan kejahatan, karena merasa memiliki frame kebebasan secara sendiri-sendiri.
Guna terhindar dari hal yang demikian, tak ada pilihan lain, seperti yang diungkapkan Charles J.Roro, wartawan Atlantic Monthly, ketika mengomentari The Rebel, karya Albert Camus......disini tidak ditemukan jejak-jejak sentimentalis, retorika ataupun jargon-jargon yang hanya dipahami selegintir orang......di sini kita dapat mendengar suara manusia yang teguh memegang nilai-nilai kesusilaan.
Jadi, terapkan hukum dengan rasa keadilan, berdasarkan fakta-fakta dan kesaksian. Bukan atas nama persekongkolan, tekanan opini atau rasa kebencian.
Beranikah kita mengatakan yang benar itu benar, walaupun itu harus terasa getir dan pahit.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar