Sejak merdeka, perjalanan kehidupan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Dari demokrasi parlementer/ liberal (1950–1959), demokrasi terpimpin (1959–1966) dan Demokrasi Pancasila (1967–1998). Tiga model demokrasi ini telah memberi kekayaan pengalaman bangsa Indonesia dalam menerapkan kehidupan demokrasi.
Setelah reformasi demokrasi yang diterapkan di Indonesia semakin diakui oleh dunia luar. Reformasi telah melahirkan empat orang presiden. Mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Demokrasi yang diterapkan saat ini masih belum jelas setelah pada masa Presiden Soeharto dikenal dengan Demokrasi Pancasila.
Ir Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1965) pernah mengungkapkan pendapatnya tentang demokrasi bagi bangsa Indonesia. “Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara-pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….”
Bung Karno mempunyai pandangan sendiri mengenai demokrasi bagi Indonesia. Demokrasi khas Eropa dianggap tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Dalam tulisannya, demokrasi yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja, hanya demokrasi politik saja, sementara demokrasi ekonomi tak ada. Demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat.
Setelah reformasi demokrasi yang diterapkan di Indonesia semakin diakui oleh dunia luar. Reformasi telah melahirkan empat orang presiden. Mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Demokrasi yang diterapkan saat ini masih belum jelas setelah pada masa Presiden Soeharto dikenal dengan Demokrasi Pancasila.
Ir Soekarno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1965) pernah mengungkapkan pendapatnya tentang demokrasi bagi bangsa Indonesia. “Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ’pemerintahan rakjat’. Tjara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah. Tjara pemerintahan ini sekarang menjadi tjita-tjita semua partai nasionalis Indonesia. Tetapi dalam mentjita-tjitakan faham dan tjara-pemerintahan demokrasi itu, kaum Marhaen toch harus berhati-hati. Artinya: djangan meniru sahaja ’demokrasi demokrasi’ yang kini dipraktekkan di dunia luaran….”
Bung Karno mempunyai pandangan sendiri mengenai demokrasi bagi Indonesia. Demokrasi khas Eropa dianggap tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Dalam tulisannya, demokrasi yang begitu hanyalah demokrasi parlemen saja, hanya demokrasi politik saja, sementara demokrasi ekonomi tak ada. Demokrasi politik saja belum menyelamatkan rakyat.
Kaum nasionalisme Indonesia tidak boleh mengeramatkan demokrasi seperti itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi ia harus mencari selamatnya semua manusia.
Pencarian bentuk demokrasi bagi Indonesia nampaknya masih terus berlangsung. Oleh beberapa kalangan, kondisi saat ini dianggap ideal untuk tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Namun demokrasi yang sedang tumbuh ini, oleh beberapa kalangan juga dianggap terlalu bebas.
Kecenderungan untuk tumbuhnya demokrasi di Indonesia saat ini sudah dapat dirasakan. Media massa atau pers menikmati kebebasannya. Masyarakat bebas berpendapat dan berorganisasi. Rakyat juga memilih langsung atau memilih sendiri pemimpinnya. Komisi negara dibentuk oleh negara. Diperbolehkannya jalur independen atau calon perseorangan di luar jalur politik mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) turut meramaikan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Perkembangan demokrasi turut meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Masyarakat boleh mengorganisasikan diri untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat atau rakyat kembali merasakan kebebasan sipil dan politiknya. Rakyat menikmati kebebasan berpendapat. Rakyat menikmati kebebasan berorganisasi.
Kebebasan sipil bisa dinikmati meskipun di sisi lain hak sekelompok masyarakat bisa dihilangkan oleh kelompok masyarakat lain. Dalam kondisi seperti ini, beberapa kalangan menilai penerapan demokrasi di Indonesia harus dijiwai dengan ideologi atau dasar negara RI, Pancasila. Pancasila sebagai dasar atau ideolgi negara harus diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi.
Pencarian bentuk demokrasi bagi Indonesia nampaknya masih terus berlangsung. Oleh beberapa kalangan, kondisi saat ini dianggap ideal untuk tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Namun demokrasi yang sedang tumbuh ini, oleh beberapa kalangan juga dianggap terlalu bebas.
Kecenderungan untuk tumbuhnya demokrasi di Indonesia saat ini sudah dapat dirasakan. Media massa atau pers menikmati kebebasannya. Masyarakat bebas berpendapat dan berorganisasi. Rakyat juga memilih langsung atau memilih sendiri pemimpinnya. Komisi negara dibentuk oleh negara. Diperbolehkannya jalur independen atau calon perseorangan di luar jalur politik mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) turut meramaikan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Perkembangan demokrasi turut meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Masyarakat boleh mengorganisasikan diri untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat atau rakyat kembali merasakan kebebasan sipil dan politiknya. Rakyat menikmati kebebasan berpendapat. Rakyat menikmati kebebasan berorganisasi.
Kebebasan sipil bisa dinikmati meskipun di sisi lain hak sekelompok masyarakat bisa dihilangkan oleh kelompok masyarakat lain. Dalam kondisi seperti ini, beberapa kalangan menilai penerapan demokrasi di Indonesia harus dijiwai dengan ideologi atau dasar negara RI, Pancasila. Pancasila sebagai dasar atau ideolgi negara harus diterapkan dalam kehidupan berdemokrasi.
Pancasila
Pancasila sebagai konsep diungkapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 saat menyampaikan pidatonya yang berisikan konsepsi usul tentang dasar falsafah negara yang diberi nama dengan Pancasila. Konsepsi usul ini berisi: 1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme; 2. Perikemanusiaan atau Internasionalisme; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; serta 5. Ketuhanan yang Maha Esa.
Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1945, sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mencapai konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan, panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI, antara umat Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preamble). Selanjutnya, saat pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Membaca sejarah pergerakan nasional di Indonesia, perubahan ini nampak bukan suatu proses dari saat disahkakannya Piagam Jakarta hingga menjadi Pembukaan UUD 1945. Para wakil rakyat Indonesia ketika itu terbagi atas dua kelompok aliran pemikiran. Di satu pihak mereka yang mengajukan agar negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan. Di pihak lainnya, mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar negara.
Keduanya memiliki akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasional Indonesia. (*)
Pancasila sebagai konsep diungkapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 saat menyampaikan pidatonya yang berisikan konsepsi usul tentang dasar falsafah negara yang diberi nama dengan Pancasila. Konsepsi usul ini berisi: 1. Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme; 2. Perikemanusiaan atau Internasionalisme; 3. Mufakat atau Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; serta 5. Ketuhanan yang Maha Esa.
Selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1945, sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mencapai konsensus nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan, panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI, antara umat Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preamble). Selanjutnya, saat pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Membaca sejarah pergerakan nasional di Indonesia, perubahan ini nampak bukan suatu proses dari saat disahkakannya Piagam Jakarta hingga menjadi Pembukaan UUD 1945. Para wakil rakyat Indonesia ketika itu terbagi atas dua kelompok aliran pemikiran. Di satu pihak mereka yang mengajukan agar negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan. Di pihak lainnya, mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar negara.
Keduanya memiliki akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasional Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar