
Korupsi di Indonesia adalah ibarat ke mana pendulum mengarah, di situ korupsi bersarang. Ironi, penyakit korupsi itu telah menjadi “barang mainan” kekuasaan di negeri ini sepanjang waktu.
Mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru dan bahkan di babak Orde atau Rejim Reformasi kini, korupsi telah sekian lama sebagai tema utama dan menjadi headlines media massa. Artinya, korupsi adalah tetap kronis di negeri ini.
Dengan demikian, korupsi sudah menjadi routine corruption, seperti istilah Bintoro Tjokroamidjojo pada akhir ‘80-an menyebutnya sebagai “korupsi yang telah membudaya.” Kenyataan sekarang ini pelaku korupsi tidak hanya terbatas dari kalangan pada wilayah negara seperti politisi, birokrasi, militer, polisi, Hakim, Jaksa dan bankir pemerintah misalnya, akan tetapi sekarang ini juga telah melibatkan spektrum yang lebih luas seperti kalangan profesional, akademisi, mahasiswa, aktivis LSM dan lain sebagainya.
Singkatnya, korupsi berkelas teri hingga kakap menjadi pemandangan setiap hari dan akrab didengar, dirasa dan dicicipi. Berdasarkan fakta bahwa, disadari atau tidak, sebagian dari masyarakat Indonesia adalah para penyokong budaya korupsi ini. Baik dia adalah pelaku atau pun hanya mendapat sedikit manfaat atas korupsi itu.
Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia. Dan terakhir sangat lekat dengan istilah kolusi dan nepotisme. Berbeda dengan terminology korupsi, dua istilah terakhir itu baru muncul dari marak dibicarakan pada akhir Orde Baru. Akan tetapi, ketiganya berkaitan dari mengandung inti makna yang sama.
Sebenarnya, implikasi makna kolusi dari nepotisme agak berbeda dengan korupsi. Walaupun anggapan yang umumnya berpandangan bahwa esensi kolusi dari nepotisme merujuk pada korupsi adalah salah kaprah, akan tetapi penggunaan istilah itu tidak begitu keliru. Karena inti dari kolusi dan nepotisme adalah juga merujuk pada makna korupsi, baik dalam arti ekonomi maupun politik (political corruption).
Ekonomi dan Politik Korupsi
Pada dasarnya, istilah korupsi awalnya lebih menonjol dalam studi politik daripada studi ekonomi. Kemudian terminologi masuk sebagai kajian pembangunan dan studi ekonomi politik. Dalam studi pembangunan misalnya menyumbangkan teori demonstration effect sebagai sumber untuk pendorong tumbuhnya korupsi di negara berkembang.
Sementara dalam studi ekonomi politik, terutama dalam the new political economy theory dikenal istilah rent seeking (RS) atau pencari keuntungan. Dalam hal ini, para pakar ekonomi-politik mencoba menerangkan melalui analisis RS ini bahwa tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para aktor politik tertentu pada waktu mereka melakukan kegiatan politik. Salah satunya adalah motivasi aktor melalui pemanfaatan kekuasaan publik untuk menumpuk kekayaan.
Korupsi juga dapat merupakan implikasi atas penyimpangan dalam pelayanan publik yang didasarkan pada mekanisme pasar bebas. Seperti Jacob van Kiaveren, dalam artikelnya The Concept of Corruption (1956) mendefinisikan korupsi sebagai akibat dari para pegawai yang korup memandang instansi publik sebagai sebuah lahan bisnis dari mana ia berusaha mendapatkan pendapatan sebanyak-banyaknya.
Dalam pandangan ini, pegawai dianggap mendudukkan pelayanan publik itu menjadi “unit maksimisasi“ atau sarana untuk mengoptimalkan profitnya secara individuil. Selanjutnya, Kiavaren melansir bahwa besarnya pendapatan pegawai dari sisi ini tergantung pada keadaan pasar atau seberapa besar demand masyarakat atas public service yang dijalankannya. Ataupun, dibarengi oleh kemampuan pencanderaannya untuk menemukan keuntungan yang sebesar besarnya dalam kurva permintaan masyarakat. Sehingga, Nye dalam artikelnya Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis menyimpulkan bahwa korupsi adalah tidak lain penggunaan secara tidak syah sumberdaya milik umum untuk manfaat pribadi.
Prestasi Korupsi
Bagi lembaga seperti Bank Dunia, Transparansi Internasional ataupun PERC, negeri ini adalah kelompok negara yang paling subur untuk tumbuh dan berkembangnya korupsi. Misalnya, PERC di Hongkong selalu menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling korup di antara negara-negara terpenting di Asia. Apalagi oleh Bank Dunia, secara fantastis pernah menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terkorup keempat seantero dunia. Bahkan lebih dari duapuluhan tahun lalu, hampir semua kalangan di negeri ini digegerkan oleh statemen Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang menyatakan bahwa kebocoran keuangan negara lebih dari 30%.
Vonis di atas tentunya tidaklah terlalu mengejutkan, sebab korupsi telah menjadi komoditi sehari-hari itu telah menjadi “barang umum”. Sehingga tidak heran jika maraknya berita pengkapan koruptor di media massa bukannya menjadi sesuatu yang perlu ditakuti oleh para penjarah uang rakyat karena sudah sangat lumrah dan biasa. Dengan demikian, korupsi bagi banyak kalangan pada bangsa ini adalah sesuatu perbuatan yang telah termaklumi alasan-alasannya.
Jadinya, korupsi adalah merupakan tindakan yang enteng-entengan dan sanksi atau hukuman bukannya menjadi sesuatu ancaman bagi koruptor, malahan dijadikan tantangan. Para koruptur itu tidak akan gentar dengan ancaman pidana, sebab kapan saja dan dimana saja akan senang hati didekati para “markus” (baca: makelar kasus). Tentunya, dengan sedikit persenan dari rupiah hasil jarahan.
Singkatnya, diyakini atau tidak, korupsi kini telah hadir sebagai prestasi dalam politik atau pun ekonomi bangsa. Apalagi akan semakin hadir dalam lingkungan yang kian hedonistik, dimana semboyan “keuangan yang Maha Kuasa” telah menjadi bagian dari way of live di negeri tercinta ini.(*)