Usai runtuhnya masa orde baru kita berbondong-bondong menuntut desentralisasi, baik kekuasaan maupun kue pembangunan. Kini setelah otonomi daerah diberlakukan Indonesia bak kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh raja dan ratu!.
Kerajaan disini memang tak seperti dalam bayangan atau seperti cerita-cerita dongeng yang pernah kita dengar. Tak pula kita dengar kalimat paduka raja atau ratu, permaisuri, pewaris tahta, dayang-dayang, hulubalang, dan lain sebagainya. Tak ada gedung-gedung yang berbentuk istana yang dikelilingi tembok-tembok tinggi dengan pengawal yang hilir mudik dan berjaga di pos penjagaan dari atas menara. Tidak, tidak seperti itu gambaran kerajaan di Indonesia saat ini. Ia tampil dalam bentuk yang jauh lebih modern, tak perlu kita membungkuk ketika bertemu raja, tak pula kaki yang beringsut sambil jongkok saat menghadap raja atau hendak pamit.
Kerajaan-kerajaan itu tampil dari sistem demokrasi yang yang kita anut, baik disadari ataupun tidak. Otonomi daerah jadi pintu masuk untuk membentuk sistem kerajaan tersebut, walaupun perumusnya sebenarnya tak bermaksud mengarahkannya kesana. Tapi pada kenyataannya itulah yang kini sedang terjadi dan kita hadapi.
Mereka raja yang berasal dari beragam partai politik yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan kepala daerah, satu daerah bisa dipimpin oleh raja yang begitu powerfull karena mampu mensinergikan potensi yang dimiliki (partai politik) dengan kekutan penyeimbang yang doyan voting memvoting ketika urusan mengambil keputusan buat daerah tersebut (DPRD). Ada juga yang sebaliknya kekuatannya teramputasi oleh kebrengsekan kekuatan penyeimbang!.
Sama seperti cerita-cerita dongeng yang pernah kita dengar, ada raja yang lalim lagi durjana tapi berwajah malaikat, ada juga raja yang baik hati dan bisa mengayomi rakyatnya. Tentu akibat dari sistem yang melahirkan raja-raja kecil tersebut harus kita terima sebagai sebuah konsekuensi pembelajaran demokrasi, dan tentunya dapat kita evaluasi kembali jika diperlukan.
Satu hal yang harus dicermati adalah otonomi daerah yang cenderung kebablasan ini malah menghasilkan Indonesia yang makin amburadul dari sisi pengendalian kebijakan pusat terhadap daerah (tentu pada kebijakan-kebijakan yang pro rakyat), oleh karena desentralisasi. Karena kepala daerah tersebut hanya bertanggung-jawab dihadapan DPRD sepenuhnya bukan lagi seperti masa orde baru, jika presiden mau mencopot kepala daerah bisa dengan ‘jentikan jari” maka usai sudah masa kekuasaan kepala daerah tersebut.
Bila dicermati orang-orang yang duduk dalam birokrasi disistem otonomi daerah yang bak kerajaan tersebut oleh mereka-mereka yang masih bertalian darah atau dari kelompok kepentingan sang kepala daerah. Terkadang mengabaikan sisi profesionalitas.
” Jangan kaget jika diakhir masa jabatan ” sang raja ” banyak yang masuk dalam bui oleh karena adanya penyelewengan diperiode kekuasaannya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar