Bila kata padanan kata dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), antara diktator dan egaliter maka akan ditemukan makna kata yang saling bertolak belakang. Rasanya tak mungkin ada pemimpin yang berlaku diktator dan egaliter secara bersamaan?
Kenapa saya bilang Indonesia butuh diktator yang egaliter?, karena melihat perjalanan bangsa ini setelah sekian lama merdeka tak juga menemukan format pemimpin yang bisa diharapkan membawa bangsa ini pada kejayaannya, apalagi akhir-akhir ini terasa begitu terang-benderangnya kejahatan demi kejahatan dilakukan dan terjadi menimpa kehidupan bangsa ini.
Seolah bangsa ini tidak lagi memiliki pemimpin yang menjadi pusat kelola dan pusat tanggung-jawab dalam mengarahkan roda negeri. Hampir disemua level birokrasi yang menjadi benteng pertahanan untuk mensuplai birokrat yang mau bekerja untuk negeri ini dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan dihentakan oleh kasus-kasus malpraktek dalam menjalankan fungsinya.
Silih berganti, timbul tenggelam, riuh rendah kejahatan demi kejahatan birokrasi yang notabene melukai amanat yang telah diberikan rakyat untuk mengelola negeri ini dengan baik. Tak ada ketuntasan terhadap masalah-masalah yang telah dilempar kepublik, semua berlalu seiring berjalannya waktu, kalaupun dikatakan masih dalam proses tentu proses yang dilakukan teramat sangat lamban oleh sebab publik tak lagi menyorotinya.
Belum usai satu permasalahan, rakyat kembali disuguhkan permasalahan baru yang tak kalah hebohnya. Belum lagi bencana demi bencana yang silih berganti menghampiri negeri ini, yang tentu saja tidak terlepas dari perilaku yang telah dipertontonkan anak negeri yang tidak bertanggung-jawab, serta orang-orang yang hanya berdiam diri saja melihat kerusakan demi kerusakan yang terjadi.
Dalam menghadapi problematika bangsa ini, tak pelak lagi kita membutuhkan sikap pemimpin yang “diktator” dalam tataran kebijakan yang berpengaruh sangat signifikan terhadap kehidupan rakyat, bukan pemimpin yang sering mengeluh dan sibuk dengan pencitraan diri. Disaat bersamaan pemimpin yang diktator tersebut mampu menghadirkan sikap “egaliter” kepada rakyatnya. Artinya ia sanggup menyatukan seruan-seruannya untuk hidup dalam keprihatinan dalam realitas kehidupannya.
Mangan ora mangan sing penting kumpul, atau kalau tak mampu mendahulukan “menderita” sebelum rakyatnya serta kenyang setelah rakyatnya kenyang, paling tidak pemimpin tersebut bisa menunjukan bahwa ia tidak hidup dalam kemewahan.
Dengan demikian seluruh aparat yang ada dibawahnya bisa dikendalikan secara maksimal, sehingga akan meminimalisir penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan negeri ini. Sehingga diharapkan akan mengahdirkan Indonesia yang jauh lebih bermartabat dan sejahtera.
“Lalu adakah sosok pemimpin yang “diktator” dan “egaliter” sekaligus diantara dua ratus juta lebih penduduk negeri yang kaya raya ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar