Selasa, 30 November 2010

Derita TKI Akan Terus Berulang


Kisah penganiayaan atas tenaga kerja Indonesia, terutama perempuan yang bekerja di luar negeri, bukan lagi hal baru. Hampir setiap tahun, kasus ini selalu terjadi, baik di Malaysia, Singapura, maupun Timur Tengah. Reaksi kepedulian pemerintah hanya sesaat disertai janji pembenahan. Namun, janji ini selalu nihil sebab kisah yang sama terulang kembali. Malah penganiayaan ini semakin menjadi-jadi membuat hati tersayat-sayat pilu.

Berdasarkan data Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang.

Korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, yakni berkisar 48,29 persen-54,10 persen. Mereka menderita beragam masalah, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.

Kini, kasus serupa timbul lagi di Arab Saudi yang menimpa Sumiati (23) asal Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kikim Komalasari asal Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Kikim dianiaya hingga tewas oleh majikannnya, sedangkan Sumiati digunting bibirnya. Suatu tindakan yang tidak bisa ditoleransi apa pun alasannya.
Bukan tak mungkin kasus sejenis akan dialami TKI lainnya. Apalagi, penanganan kasus TKI yang dilakukan Pemerintah Indonesia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya.

Sebaliknya, pemerintah dan semua pihak terkait selalu berbangga jika mendengar majikan dihukum dan TKI diberikan berbagai biaya sebagai kompensasi. Tetapi, sumber masalah yang ada di dalam negeri tetap dibiarkan kian menggurita. Akar masalah itu mulai dari tata cara dan mekanisme perekrutan, proses penyiapan keterampilan, sistem pengiriman, hingga sejumlah ketentuan lainnya, termasuk adanya sindikat dalam pengiriman TKI. Para pelaku sindikat tidak peduli seperti apa nasib TKI di luar negeri. Yang penting bagi mereka adalah menikmati keuntungan dari transaksi pengiriman TKI.

Sumber masalah itu sudah berkali-kali diungkapkan secara telanjang. Solusi juga sudah banyak diberikan, tetapi pemerintah sama sekali tidak punya niat serius untuk menuntaskan masalah.
Terkesan pemerintah tidak pernah merasa bersalah. Mereka malah menganggap sudah bekerja maksimal. Padahal, rasa bersalah itu penting sebagai modal melakukan perbaikan.

TAK SERIUS.
Harus diakui, penderitaan TKI sesungguhnya adalah puncak dari akumulasi perlakuan tak manusiawi yang dialami para buruh migran sejak awal perekrutan. Mereka direkrut perusahaan jasa dengan diimingi gaji besar tanpa melalui proses seleksi dan penyiapan keterampilan yang memadai, termasuk dalam penguasaan bahasa di negara tempat mereka akan bekerja. Hal ini diperburuk lagi dengan lemahnya pengawasan dari instansi terkait.

Kondisi ini menimbulkan masalah bagi TKI yang bersangkutan saat berada di tangan majikan di negara tujuan. Apalagi, demi mendapatkan pekerja itu, majikan pun sudah membayar uang yang tidak sedikit. Kekecewaan majikan dilampiaskan dengan melakukan penyiksaan, menahan gaji TKI, dan berbagai tindakan lainnya.

Dari seluruh mata rantai persoalan TKI, sekitar 95 persen persoalan itu tertanam di Indonesia. Tak kurang ada 18 instansi pemerintah setiap tahun mengalokasikan dana untuk urusan TKI, tetapi hasilnya selalu nihil.

Inilah salah satu bukti kegagalan negara sebab menyuburkan praktik pengiriman TKI yang mengabaikan aspek harkat dan martabat manusia serta legalitas dan keterampilan. Maraknya persoalan yang dialami para TKI juga dipicu kegagalan pemerintah dalam memberdayakan sektor pertanian di pedesaan. Lihat saja nilai tukar produk pertanian selalu lebih rendah daripada sektor lainnya.

Bahkan, tak jarang ongkos produksi pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh petani. Ini diperburuk lagi dengan maraknya beredar produk impor dengan harga yang jauh lebih murah.

Tak sedikit petani mencoba berganti komoditas yang dibudidayakan sebagai upaya mencari pilihan yang memungkinkan dapat meningkatkan pendapatan. Setelah pilihan itu dicoba, dan tidak memberikan hasil seperti diharapkan, mereka pun putus asa, lalu memutuskan menjadi TKI. Lahan digadaikan guna mendapatkan modal ke luar negeri.

Saat ini yang menjadi petani di Pulau Jawa rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Artinya, dunia pertanian makin ditinggalkan kaum muda dan mereka lebih memilih menjadi TKI. Mengapa? Karena sektor pertanian dinilai tak lagi menjanjikan untuk masa depannya,

Selain itu, pemerintah pun gagal mendorong TKI dan keluarganya memanfaatkan uang dari luar negeri dengan usaha ekonomi produktif. Melalui kegiatan itu, uang yang ada dapat berkembang sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Jika semua uang yang dimiliki habis terpakai untuk urusan konsumtif, otomatis menjadi TKI merupakan pilihan hidup abadi...)*

Kamis, 25 November 2010

Hari Guru, Sertifikasi Guru, Pemuliaan atau Dekadensi Moral ?

Guru ataupun dosen adalah jabatan fungsional yang sebenarnya memiliki lingkup kerja yang hampir sama, keduanya dipisahkan pada level jenjang pendidikan yang diampu. Guru dan dosen adalah salah satu tulang punggung masa depan bangsa dan negara. Suatu bangsa akan maju bila guru dan dosennya bekerja secara benar pada posisinya.

Alih-alih pemerintah ingin memberikan reward kepada guru dan dosen dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi (baca: tunjangan bagi yg sudah mendapat sertifikat), apa daya pelayanan dan mutu pendidikan tak kunjung tercapai. Awalnya tunjangan sertifikasi sebagai senjata ampuh untuk memuliakan guru dan dosen oleh pemerintah, tetapi kemudian senjata itu bagai makan tuan. Entah itu sudah menjadi watak dan karakter, sebagian guru kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sertifikasi karena nilai nominal yang akan didapat sangat menggiurkan.

Tengoklah kejadian proses sertifikasi guru di Riau, ternyata para guru memalsukan karya-karya ilmiah sebagai sarat mendapatkan sertifikasi. Kalau guru saja sudah berani memalsukan karya ilmiyah, lalu apa jadi dengan muridnya, bak pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

Kalau demikian adanya apakah salah cita-cita pemerintah memuliakan guru dengan sertifikasi ternyata yang terjadi adalah penuruan moral para guru? Program sertifikasi ternyata banyak disalahartikan sebagai program kenaikan gaji berlipat-lipat. Perbedaan yang mencolok di lapangan antara guru ataupun dosen yang sudah sertifikasi dengan yang belum, hanyalah gaji saja sementara etos dan prestasi tak terlalu signifikan. Apakah pemerintah sudah melakukan evaluasi seberapa besar efek sertifikasi dengan kenaikan mutu kualitas para guru dan dosen?

Sebenarnya maksud pemerintah memuliakan guru dan dosen dengan tunjangan sudah benar, tetapi implementasinya yang sangat rentan dengan manipulasi. Pemberian tunjangan lebih kepada guru dan dosen sebenarnya tidak perlu melalui proses yang sangat rentan manipulasi yang akhirnya menurunkan martabat guru dan dosen itu sendiri?

Untuk dosen, sebenarnya dengan jenjang pendidikannya dan berapa publikasi ilmiah yang telah didesiminasikan tingkat international sudah bisa menunjukkan kualitas seorang dosen. Di negara lain seorang dosen yang sudah mencapai jenjang strata tiga (S3) pastilah dia akan langsung mendapat gaji yang standar untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengikuti persaratan lain dan tentunya akan meningkat sesuai prestasi yang dicapai. Hal ini tentunya juga agar memotivasi para dosen yang sudah S3 untuk dapat mengabdi ke institusinya.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk banyak, yang tentunya juga sudah banyak penduduknya yang mencapai jenjang S3. Tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang S3 di luar negeri ogah-ogahan pulang membangun negarinya. Hal ini dikarenakan nasib mereka tidak akan segera cerah bila mereka tetap tinggal di luar Indonesia. Tentunya ini adalah masalah besar, mereka yang sudah S3 masih memandang feodalisme pangkat di Indonesia yang sangat kental walau di institusi pendidikan sekalipun. Sehingga mereka kalau pulang harus mengabdi dulu dengan gaji yang relatif rendah bahkan untuk mendapat tunjangan yang memadahi seperti tunjangan sertifikasi mereka harus rela menunggu urut kacang (baca: urut senioritas).

Kalau orang-orang yang S3 saja enggan untuk pulang kampung, jangan heran kalau mereka yang cuma alumni sekolah menengah beramai-ramai keluar Indonesia untuk antri menjadi TKI di luar negeri. Lalu kapan orang-orang cemerlang penduduk negeri ini mendapat peluang untuk membangun negerinya.......?)***

Sabtu, 20 November 2010

Tak Ada Negara Miskin Kirim TKW Kecuali RI

Bila menginginkan masalah tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi selesai, satu-satunya solusi adalah dengan tidak mengirim TKI. Saat ini, selain Indonesia, tidak ada negara yang mengirim TKW. Sekarang ini di Saudi juga di negara-negara Islam di Timur Tengah sudah tidak ada lagi negara yang semiskin apa pun mengirimkan TKW pembantu rumah tangga. 
Itu sudah tidak ada kecuali Indonesia.

Negara-negara lain memutuskan kebijakan tidak mengirim TKW ke Arab karena untuk menyelamatkan mereka hampir tidak mungkin.

Maka sebenarnya, kalau memang masalah TKW ini mau selesai ya yang dikirim TKI saja jangan TKW rumah tangga, diakui masalah TKW sudah sulit diselesaikan. Kalau memang mau diselesaikan sudah harus lewat diplomasi tingkat tinggi, yakni bagaimana diplomasi antar kepala negara agar TKW ditarik saja.

Negara-negara lain seperti Yaman, Pakistan, Banglades, Somalia, Filipina  sudah tidak ada yang mengirimkan TKW untuk pekerjaan rumah tangga. Cuma Indonesia saja. Malah kadang-kadang kita dibilang bangsa tidak punya malu sama mereka. Selain diplomasi tingkat tinggi level kepala negara, harus ada gerakan lintas kementerian seperti antara Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Pengiriman TKW tidak hanya memunculkan tragedi penyiksaan, tapi juga tragedi keluarga seperti suami yang kawin lagi atau hancurnya kehormatan keluarga.

Masalah TKW  bukan menyangkut devisa saja tapi masalah kehormatan bangsa. Masalahnya mampu tidak Kementerian Tenaga Kerja menyetop pengiriman TKW.....???)***

Jumat, 19 November 2010

Hukum Manusia Mengalahkan Hukum Tuhan ?

Hukum yang berlaku di alam ini bersumber dari berbagai macam hukum, ada yang berdasarkan hukum adat, hukum Negara, Hukum Agama dan hukum yang lain. Masing-masing dari setiap hukum itu sendiri mengklaim bahwa hukum mereka itulah yang paling benar dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dan semua diwajibkan untuk tunduk dan taat atas hukum yang berlaku tersebut dan jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang yang dibuat tersebut.

Namun apa yang terjadi apabila hukum tersebut berlaku pada sebuah negara yang sangat beragam suku bangsa dan agama seperti Indonesia?
Untuk melihat masalah ini mungkin untuk lebih jelasnya kita melihat salah kasus yang saat ini masih terjadi yaitu kasus Pernikahan Syeh Puji dengan Ulfa yang dianggap masih dibawah umur.

Dalam kasus ini sangatlah nyata bahwa hukum yang dibuat oleh manusia berbenturan dengan hukum salah satu agama yaitu “Agama Islam”. Menurut syekh Puji, dalam Islam tidak ada dalil yang melarang umatnya untuk menikahi seorang perempuan dibawah umur tujuh belas tahun atau usia tertentu. Sehingga Syeh Puji  mungkin Berfikir “Tuhan yang menciptakan manusia saja tidak melarang, masa, Manusia yang diciptakan oleh Tuhan berani melarang, Apa ini tidak berarti bahwa manusia itu melawan hukum Tuhan ?”
Namun berbeda dengan dasar hukum yang dipegang oleh Komisi Perlindungan Anak bahwa pernikahan Syeh Puji ini melanggar Undang-undang pernikahan dibawah umur yang sumber dari Undang-undang ini di buat oleh Negara (Manusia).

Namun menurut saya untuk kasus Ulfa ini sendiri menurut pandangan saya memang terlalu dilebih-lebihkan oleh pihak Komisi Perlindungan Anak dan juga pihak kepolisian. Ini lebih cenderung karena bukan masalah pada pernikahan dini akan tetapi lebih kepasa SIAPA yang melakukan pernikahan dini tersebut.? Kasus pernikahan dini di Indonesia sendiri oleh banyak kalangan dianggap sebuah kasus yang sudah terjadi sejak dahulu yang mereka melakukan pernikahan tersebut karena menggunakan hukum agama ataupun hukum adat.
Kasus pernikahan yang di lakukan oleh Syeh Puji diributkan menurutku lebih karena Syeh Puji adalah orang yang terkenal dan kaya raya dan banyak rupiah sehingga kasus ini dibesar-besarkan. Saya berani mengatakan ini karena FAKTA dilapangan memang Syeh Puji adalah seorang yang kaya raya sehingga ada yang diuntungkan dalam kasus ini.

Coba lihat pernikahan dibawah umur yang terjadi dan menimpa orang-orang miskin di pelosok negeri ini, Apakah Komnas perlindungan anak atau Lembaga bantuan hukum mempermasalahkan hal ini dan kemudian mempublikasikan lewat media-media ? sama-sekali belum pernah saya dengar dan saya lihat.

Apakah selamanya hukum yang diciptakan oleh manusia bisa mengalahkan hukum yang dibuat oleh Tuhan selama ada Rupiah yang mengalir ?
 
Bagaimana menurut kawan-kawan yang lain, pernahkah melihat disekitar anda bahwa hukum Manusia bisa mengalahkan hukum Tuhan yang berlaku dalam sebuah kitab suci anda ?)***

Inspirasi Untuk Nurani, Inspirasi Untuk Negeri

Melihat fakta pada gambar-gambar diatas merupakan sebuah renungan dan inspirasi buat saya pribadi tentang memaknai pemikiran, prinsip hidup dan keinginan saya untuk selalu mencari tahu tentang “NURANI” dan KEBENARAN. Mungkin bukan sebuah kebenaran yang MUTLAK, karena kebenaran yang MUTLAK hanya miik Tuhan sedangkan kebenaran yang di “Klaim” oleh manusia di setiap saat dan mungkin di setiap detik bisa di gugat oleh klaim-klaim kebenaran yang dilontarkan oleh orang lain.

Dari dua gambar tersebut diatas, ada pelajaran penting yang bisa menjadi inspirasi saya dalam menjalankan roda kehidupan di negeri yang plural lengkap dengan berjuta kontroversi ini.
Gambar Pertama memberikan saya “WARNING” bahwa tidak ada JAMINAN bahwa mereka yang memiliki jabatan terhormat, mereka yang mengklaim diri mereka orang-orang yang layak menerima gaji tinggi dari rakyat, fasilitas mobil mewah, rumah mewah dan semua tunjangan-tunjangan serba mewah lainya bisa melakukan tanggungjawab dan melakukan kewajiban mereka walaupun seluruh HAK-HAK mereka telah diberikan secara total, dan semuanya dikeluarkan dari keringat-keringat rakyat bernama Pajak. tapi lihatlah, apa yang kita lihat dalam gambar tersebut memberikan kita gambaran dan WARNING bahwa ketika kita mendapatkan semua hak-hak tersebut belum tentu kinerja dan KEWAJIBAN mereka sebanding dengan HAK-hak yang telah mereka terima dari rakyat.

Dan dari yang demikian itu, saya menemukan faktor yang menurut saya kenapa mereka melakukan hal yang demikian, itu karena pengabdian dan kinerja mereka sudah dinilai dan diukur hanya dari “RUPIAH” sehingga mereka walaupun diberikian gaji yang tinggi, fasilitas mobil mewah, rumah mewah dan fasilitas yang serba mewah tetap saja mereka melakukan perbuatan yang demikian.

Sedangkan kita akan melihat sebuah FAKTA yang begitu Contras ketika melihat gambar yang kedua, dimana dalam gambar kedua kita melihat di sana ada Pak Sugeng yang beliau adalah bukan hidup dari gaji uang rakyat, beliau juga tidak pernah menerima fasilitas mobil mewah dari rakyat, beliau juga tidak tinggal dan hidup dalam rumah mewah yang juga di berikan oleh negara untuk beliau. Beliau juga bukan orang yang memiliki fisik yang utuh seperti pejabat-pejabat negeri ini melainkan beliau adalah seorang yang tidak memiliki kaki. Tapi coba mari kita lihat apa yang sudah dilakukan oleh Pak Sugeng untuk negeri ini ?
Pak Sugeng dengan keterbatasan dan kekuranganya justru memberikan banyak manfaat untuk orang-orang disekitarnya, dengan kekurangan fisiknya tersebut belau membuat ribuan kaki palsu gratis yang dibagikan untuk mereka orang-orang cacat yang bernasib seperti beliau diberbagai daerah di Indonesia, bukan hanya sekedar memberikan kaki gratis semata tapi beliau juga memberikan motivasi dan semangat kepada orang-orang yang bernasib sama denganya untuk tidak mudah putus asa dan bergantung kepada orang lain.

Dan ternyata dari orang-orang seperti Pak Sugeng ini saya dapatkan pelajaran yang juga sangat luar biasa yaitu bagaimana kita bisa memahami MAKNA IKHLAS dan PENGABDIAN yang sesungguhnya. Sebuah makna Ikhlas dan pengabdian yang tidak pernah membutuhkan SYARAT apapun seperti halnya yang tercantum dalam setiap KITAB SUCI semua agama.
Sebenarnya masih banyak sekali orang-orang seperti pak Sugeng yang bisa kita temukan disekitar kita tentunya dengan cerita yang berbeda seperti yang bisa kita temukan dalam buku-buku karya Penulis matahari Timur yang menceritakan tentang “GURU KEHIDUPAN” dimana disana banyak sekali kisah yang bisa kita ambil keteladananya.
Dan untuk mengambil semua keteladanan tersebut bukan hanya kita diam dan bicara saja  (seperti saya) tapi memang harus dengan perbuatan yang nyata.

*Tulisan ini semata2 hanya untuk inspirasi saya sendiri karena saya ga tahu jika inspirasi untuk saya pribadi inspirasi juga untuk orang lain, apalagi untuk negeri ini......)***