Oleh: Ucu SN
Kemiskinan adalah kondisi yang menyebabkan seseorang terhalang untuk mengakses
hak-hak kehidupan dan membuatnya tersisih dan terpinggirkan dari berbagai
peluang dan kesempatan yang datang. Kondisi kemiskinan ibarat air bah yang
merendam sampai ke leher, sehingga ada riak sedikit saja dapat
menenggelamkannya.
Tak ada pilihan bagi
orang miskin. Mereka hanya menerima kenyataan pahit dan sulit. Survival
strategy (strategi asal bisa hidup) adalah realitas perjuangan yang
sehari-hari ditempuhnya sebagai pilihan dalam orientasi subsistensi. Sekedar
bisa makan untuk hari ini pun dirasakan berat dalam ruang kehidupan yang pengap
dan menggencetnya. Betapa tidak berdayanya mereka untuk menolak upah rendah,
dan tidak juga dapat mengelak membeli keburuhan pokok yang harganya merangkak
naik.
Tetapi kita tidak cukup
mengetahui tentang dinamika survival strategy orang-orang miskin yang
membuatnya mampu bertahan hidup. Demikian pula kita tidak benar-benar memahami
struktur dan budaya masyarakat miskin serta pola dasar ketergantungan akibat
pemerasan structural yang menyebabkannya terbelenggu oleh keadaan yang seakan
merupakan seratan nasib malang di sepanjang hidupnya.
Selama ini kita terlena
alunan retorika pembangunan yang manis, tanpa menyadari realitas yang kompleks dan
penuh kontradiksi. Amat terlalu banyak retorika dan distorsi menyertai gerak
pembangunan, seperti program pro rakyat, perbaikan infrastruktur, bantuan rumah
untuk orang miskin dan pemberian modal usaha bersama bagi masyarakat tidak
mampu. Tetapi pemerintah sendiri tidak memahami benar apa makna dari
program-program tersebut bagi system perencanaan yang mendasar serta metode
operasional yang terkait dengan berbagai persoalan yang mengitari kehidupan
orang-orang miskin. Sering kali perencanaan untuk pemberian bantuan orang-orang
miskin itu lepas dari konteks geografis, dan masalah-masalah structural lainnya.
Jika kita
bersungguh-sungguh mengatasi kemiskinan mau tidak mau kita harus menjadikan
ihwal orang miskin dalam dimensi manusiawi yang utuh, dan menjadikan mereka
sebagai titik sentral perhatian. Selama ini bentuan-bantuan orang miskin baru
sebatas “santunan”, yang tidak jarang bersifat politis untuk mendapat dukungan mereka,
sehingga kurang memberikan dampak luas dan mendasar terhadap perubahan jangka
panjang masyarakat miskin. Bahkan tidak sedikit pula bantuan pemerintah untuk
orang miskin itu tidak sampai dan tidak utuh. Makin jauh posisi bantuan untuk orang
miskin dari pusat pemerintahan, makin besar kemungkinan manipulasinya.
Meski sederet data
statistic tentang garis kemiskinan, konsumsi kalori per kapita, indeks gini, dan
indeks pembangunan manusia dibeberkan, tetapi tidak akan mampu mengungkap
keadaan obyektif dan perasaan mereka yang sedalam-dalamnya. Keluh dan jerit
orang-orang miskin tidak pernah terungkap dalam retorika data kuantitatif. Pun kita
sering tidak menyadari berbagai pelayanan atas nama negara dan pembangunan
justru melewati mereka, kelompok yang sesungguhnya harus diperhatikan. Bukan
karena memang sengaja didesain demikian, tetapi sering kali keadaan memaksanya
seperti itu. Bagaimana harus diberikan kridit kalau mereka tidak mampu
memberikan jaminan? Apa yang dapat dilakukan Puskesmas di suatu tempat jika
warga tidak datang dan lebih suka berobat ke dukun? Inilah realitas orang
miskin yang perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Tanpa memahami dimensi
manusiawi itu mustahil dapat dilakukan program yang mampu membawa perbaikan
bagi masyarakat miskin. Hendaknya pula kondisi ini tidak malah dimanipulasi
sekedar mendapat bantuan bagi kepentingan oknum tertentu. Sebab bukan mustahil
berbagai fasilitas diusulkan melalui APBD/APBN untuk dan atas nama masyarakat
miskin, tetapi bantuan operasional itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kenaikan Harga BBM
Reaksi keras masyarakat
terhadap rencana pemerintah yang akan menaikan harga BBM merupakan bukti atas
realitas kontradiksi social-ekonomi bahw selama ini pun kehidupan masih amat
berat, terutama dirasakan oleh masyarakat miskin. Pemerintah cenderung
memandang sepele kelompok du’afa ini, dan seakan bukan bagian integral dari
kehidupan bangsa ini. Pemerintah lebih sering menyajikan data-data kuantitatif
pertumbuhan ekonomi nasional, harga minyak global dan berbagai program pro
rakyat yang realitasnya dimana praktek ketidakadilan dan kemiskinan masih
merupakan beban berat di tengah guncangan krisis ekonomi yang seakan tak
berujung.
Kenaikan harga BBM didahului
oleh melambungnya harga-harga kebutuhan. Tentu saja kelompok yang paling berat
merasakan dampak itu adalah warga miskin yang rentan perubahan. Meskipun
pemerintah akan melakukan bantuan langsung tunai atau Bantuan Langsung Subsidi
Minyak (BLSM) kepada rakyat miskin yang besarnya Rp 150.000,- per orang, tetapi
bantuan itu sama sekali tidak signifikan dibanding dampak harga-harga kebutuhan
yang tentu lebih tinggi dibanding kemampuan daya beli masyarakat miskin.
Kebijakan kenaikan harga
BBM juga merupakan fenomena atas kekurangmampuan pemerintah memahami hal ikhwal
penduduk Indonesia yang mayoritas berpendapatan rendah. Dipastikan 2/3 penduduk
Indonesia merupakan masyarakat sawah dan nelayan yang kehidupannya sangat
tergantung kepada belas kasihan musim. Seperti diketahui masyarakat petani dan
nelayan adalah warga yang cukup banyak menggunakan energy BBM, selain untuk traktor
dan motor laut, juga petani kita umumnya masih tergantung kepada pupuk kimia
yang harganya sudah pasti ikut naik. Selain itu mereka tak menolak naiknya
harga berbagai kebutuhan lain, sehingga beban hidupnya akan makin berat.
Pemerintah seharusnya menyadari
bahwa kita dalam berbangsa dan benegara ini sedang belajar berdemokrasi. Karena
itu berbagai keputusan politik termasuk rencana menaikan harga BBM tidak dipaksakan.
Kebijakan itu bukan hanya harus ditunda, tapi juga tidak dilakukan. Pemaksaan
apa pun nama kebijakan itu adalah kontra produktif dengan azas demokrasi.
Semestinya pemerintah dalam merencanakan kebijakannya diawali lebih dahulu
dengan riset untuk mengetahui secara detil seberapa besar berbagai unsur
masyarakat mendukung kebijakan itu dan seberapa besar dampaknya. Kedaultan
rakyat harus dihormati dari sekedar pentingnya arti kekuasaan. Dalam hal ini
BBM merupakan hajat hidup orang banyak dan tidak seharusnya pemerintah
menjadikannya sebagai alat kekuasaan
belaka. Permasalahannya pemerintah bukanlah sekedar harus melakukan penyesuaian
harga minyak global, tetapi secara internal juga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran,
mempercepat pencapaian sasaran-sasaran pembangunan di berbagai sector, termasuk
reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi dan mengurangi tingkat kebocoran anggaran
dan penyimpangan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di
berbagai tingkatan.
Menjangkau Masyarakat
Miskin
Berbagai program
pengentasan kemiskinan telah digulirkan pemerintah. Tetapi mengapa kemiskinan
tidak pernah sirna. Makhluk macam apa kemiskinan itu seakan sakti tidak bisa
terobati?. Semakin banyak muncul orang kaya baru (OKB) semakin nampak
kesenjangan yang memperjelas wajah-wajah kehidupan orang miskin di sebelahnya.
Padahal tak seorang pun manusia ingin hidup miskin.
Fakta
itu merupakan bukti bahwa kemiskinan tidak dapat diabaikan dan tidak pula
dipandang sebelah mata. Kelompok ini tidak dapat berbuat apa-apa selain
berjuang keras untuk mempertahankan hidup setiap harinya dengan kesengsaraan
yang menyekapnya dalam ruang hidup yang pengap. Kita yakin, andaikan mereka
memiliki pilihan untuk hijrah ke tempat lain dengan harapan ada perbaikan,
pastilah mereka pun berpindah. Tapi masalahnya pindah ke mana, toh kemiskinan
ada di mana-mana.
Kemiskinan adalah permasalahan struktural,
bukan semata-mata karena faktor geografis, sosial dan ekonomi saja. Karena itu upaya
untuk menjangkau orang-orang miskin tidak bisa dilakukan secara simsalabim,
melainkan perlu proses panjang terkait dengan berbagai faktor yang
membentuknya. Pengentasan kemiskinan perlu dana besar dengan pendekatan yang
lebih khusus menyangkut rasa dan budayanya melalui program-program yang
memungkinkan mereka berubah. Pemberdayaan orang-orang miskin akan efektif bila
menjadikan mereka sebagai sumber utama dalam perencanaan dan dalam pilihan
metodologi operasional yang partisipatif dan terbuka. Kemampuan melibatkan
orang-orang miskin dalam membuat keputusan bersama merupakan langkah awal dalam
menuju sukses bagi program pengentasan kemiskinan. Jika orang-orang miskin
dijadikan obyek melalui BLSM yang tak seberapa sama saja dengan menenggelamkan
mereka pada kondisi yang tidak manusiawi.
***
Penulis
adalah sekretaris LSM Amprak Banten
***********************************************************************
Menatasi menyangkut
sebagian kalangan ahli menyebutnya kemiskinan structural. Kelompok ini
selalu tersisih dan tersungkur. Meskipun konstitusi negara ini menetapkan
hak-hak setiap warganya untuk memperoleh kehidupan yang layak, namun luas dan
tingginya permasalahan yang dihadapi, dan tidak meratanya distribusi kue
pembangunan, maka kita bertanya-tanya mengapa kemiskinan seakan abadi dan semakin
susah.
Dalam
pada itu perubahan social berlangsung cepat, baik disebabkan karena kemajuan
pembangunan maupun persentuhan budaya antar kota dan antar daerah. Kita tidak dapat menutup mata akan derita
yang dialami orang-orang miskin di tengah perubahan social yang berlangsung
demikian fundamental. Runtuhnya system nilai yang melonggarkan ikatan social
dan rasa persaudaraan, serta meredupnya keyakinan esensial dari agama yang
menganjurkan untuk membagi kesejahteraan kepada orang-orang miskin. Kondisi ini
mau tidak mau diiringi oleh ketidakpastian yang makin tumbuh; lepasnya arah
pandang, menjalarnya rasa kecemasan dan ketakutan yang mendalam membuat
masyarakat miskin semakin tertekan dan menderita.