Selasa, 12 Februari 2013

REALITAS KEMISKINAN


Oleh: Ucu SN
Kemiskinan adalah kondisi yang menyebabkan seseorang terhalang untuk mengakses hak-hak kehidupan dan membuatnya tersisih dan terpinggirkan dari berbagai peluang dan kesempatan yang datang. Kondisi kemiskinan ibarat air bah yang merendam sampai ke leher, sehingga ada riak sedikit saja dapat menenggelamkannya.

Tak ada pilihan bagi orang miskin. Mereka hanya menerima kenyataan pahit dan sulit. Survival strategy (strategi asal bisa hidup) adalah realitas perjuangan yang sehari-hari ditempuhnya sebagai pilihan dalam orientasi subsistensi. Sekedar bisa makan untuk hari ini pun dirasakan berat dalam ruang kehidupan yang pengap dan menggencetnya. Betapa tidak berdayanya mereka untuk menolak upah rendah, dan tidak juga dapat mengelak membeli keburuhan pokok yang harganya merangkak naik.
Tetapi kita tidak cukup mengetahui tentang dinamika survival strategy orang-orang miskin yang membuatnya mampu bertahan hidup. Demikian pula kita tidak benar-benar memahami struktur dan budaya masyarakat miskin serta pola dasar ketergantungan akibat pemerasan structural yang menyebabkannya terbelenggu oleh keadaan yang seakan merupakan seratan nasib malang di sepanjang hidupnya.
Selama ini kita terlena alunan retorika pembangunan yang manis, tanpa menyadari realitas yang kompleks dan penuh kontradiksi. Amat terlalu banyak retorika dan distorsi menyertai gerak pembangunan, seperti program pro rakyat, perbaikan infrastruktur, bantuan rumah untuk orang miskin dan pemberian modal usaha bersama bagi masyarakat tidak mampu. Tetapi pemerintah sendiri tidak memahami benar apa makna dari program-program tersebut bagi system perencanaan yang mendasar serta metode operasional yang terkait dengan berbagai persoalan yang mengitari kehidupan orang-orang miskin. Sering kali perencanaan untuk pemberian bantuan orang-orang miskin itu lepas dari konteks geografis,  dan masalah-masalah structural lainnya.
Jika kita bersungguh-sungguh mengatasi kemiskinan mau tidak mau kita harus menjadikan ihwal orang miskin dalam dimensi manusiawi yang utuh, dan menjadikan mereka sebagai titik sentral perhatian. Selama ini bentuan-bantuan orang miskin baru sebatas “santunan”, yang tidak jarang bersifat politis untuk mendapat dukungan mereka, sehingga kurang memberikan dampak luas dan mendasar terhadap perubahan jangka panjang masyarakat miskin. Bahkan tidak sedikit pula bantuan pemerintah untuk orang miskin itu tidak sampai dan tidak utuh. Makin jauh posisi bantuan untuk orang miskin dari pusat pemerintahan, makin besar kemungkinan manipulasinya.
Meski sederet data statistic tentang garis kemiskinan, konsumsi kalori per kapita, indeks gini, dan indeks pembangunan manusia dibeberkan, tetapi tidak akan mampu mengungkap keadaan obyektif dan perasaan mereka yang sedalam-dalamnya. Keluh dan jerit orang-orang miskin tidak pernah terungkap dalam retorika data kuantitatif. Pun kita sering tidak menyadari berbagai pelayanan atas nama negara dan pembangunan justru melewati mereka, kelompok yang sesungguhnya harus diperhatikan. Bukan karena memang sengaja didesain demikian, tetapi sering kali keadaan memaksanya seperti itu. Bagaimana harus diberikan kridit kalau mereka tidak mampu memberikan jaminan? Apa yang dapat dilakukan Puskesmas di suatu tempat jika warga tidak datang dan lebih suka berobat ke dukun? Inilah realitas orang miskin yang perlu mendapat perhatian khusus pemerintah. Tanpa memahami dimensi manusiawi itu mustahil dapat dilakukan program yang mampu membawa perbaikan bagi masyarakat miskin. Hendaknya pula kondisi ini tidak malah dimanipulasi sekedar mendapat bantuan bagi kepentingan oknum tertentu. Sebab bukan mustahil berbagai fasilitas diusulkan melalui APBD/APBN untuk dan atas nama masyarakat miskin, tetapi bantuan operasional itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. 

Kenaikan Harga BBM
Reaksi keras masyarakat terhadap rencana pemerintah yang akan menaikan harga BBM merupakan bukti atas realitas kontradiksi social-ekonomi bahw selama ini pun kehidupan masih amat berat, terutama dirasakan oleh masyarakat miskin. Pemerintah cenderung memandang sepele kelompok du’afa ini, dan seakan bukan bagian integral dari kehidupan bangsa ini. Pemerintah lebih sering menyajikan data-data kuantitatif pertumbuhan ekonomi nasional, harga minyak global dan berbagai program pro rakyat yang realitasnya dimana praktek ketidakadilan dan kemiskinan masih merupakan beban berat di tengah guncangan krisis ekonomi yang seakan tak berujung.
Kenaikan harga BBM didahului oleh melambungnya harga-harga kebutuhan. Tentu saja kelompok yang paling berat merasakan dampak itu adalah warga miskin yang rentan perubahan. Meskipun pemerintah akan melakukan bantuan langsung tunai atau Bantuan Langsung Subsidi Minyak (BLSM) kepada rakyat miskin yang besarnya Rp 150.000,- per orang, tetapi bantuan itu sama sekali tidak signifikan dibanding dampak harga-harga kebutuhan yang tentu lebih tinggi dibanding kemampuan daya beli masyarakat miskin.
Kebijakan kenaikan harga BBM juga merupakan fenomena atas kekurangmampuan pemerintah memahami hal ikhwal penduduk Indonesia yang mayoritas berpendapatan rendah. Dipastikan 2/3 penduduk Indonesia merupakan masyarakat sawah dan nelayan yang kehidupannya sangat tergantung kepada belas kasihan musim. Seperti diketahui masyarakat petani dan nelayan adalah warga yang cukup banyak menggunakan energy BBM, selain untuk traktor dan motor laut, juga petani kita umumnya masih tergantung kepada pupuk kimia yang harganya sudah pasti ikut naik. Selain itu mereka tak menolak naiknya harga berbagai kebutuhan lain, sehingga beban hidupnya akan makin berat.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa kita dalam berbangsa dan benegara ini sedang belajar berdemokrasi. Karena itu berbagai keputusan politik termasuk rencana menaikan harga BBM tidak dipaksakan. Kebijakan itu bukan hanya harus ditunda, tapi juga tidak dilakukan. Pemaksaan apa pun nama kebijakan itu adalah kontra produktif dengan azas demokrasi. Semestinya pemerintah dalam merencanakan kebijakannya diawali lebih dahulu dengan riset untuk mengetahui secara detil seberapa besar berbagai unsur masyarakat mendukung kebijakan itu dan seberapa besar dampaknya. Kedaultan rakyat harus dihormati dari sekedar pentingnya arti kekuasaan. Dalam hal ini BBM merupakan hajat hidup orang banyak dan tidak seharusnya pemerintah menjadikannya  sebagai alat kekuasaan belaka. Permasalahannya pemerintah bukanlah sekedar harus melakukan penyesuaian harga minyak global, tetapi secara internal juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran, mempercepat pencapaian sasaran-sasaran pembangunan di berbagai sector, termasuk reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi dan mengurangi tingkat kebocoran anggaran dan penyimpangan untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah di berbagai tingkatan.

Menjangkau Masyarakat Miskin
Berbagai program pengentasan kemiskinan telah digulirkan pemerintah. Tetapi mengapa kemiskinan tidak pernah sirna. Makhluk macam apa kemiskinan itu seakan sakti tidak bisa terobati?. Semakin banyak muncul orang kaya baru (OKB) semakin nampak kesenjangan yang memperjelas wajah-wajah kehidupan orang miskin di sebelahnya. Padahal tak seorang pun manusia ingin hidup miskin.
Fakta itu merupakan bukti bahwa kemiskinan tidak dapat diabaikan dan tidak pula dipandang sebelah mata. Kelompok ini tidak dapat berbuat apa-apa selain berjuang keras untuk mempertahankan hidup setiap harinya dengan kesengsaraan yang menyekapnya dalam ruang hidup yang pengap. Kita yakin, andaikan mereka memiliki pilihan untuk hijrah ke tempat lain dengan harapan ada perbaikan, pastilah mereka pun berpindah. Tapi masalahnya pindah ke mana, toh kemiskinan ada di mana-mana.
 Kemiskinan adalah permasalahan struktural, bukan semata-mata karena faktor geografis, sosial dan ekonomi saja. Karena itu upaya untuk menjangkau orang-orang miskin tidak bisa dilakukan secara simsalabim, melainkan perlu proses panjang terkait dengan berbagai faktor yang membentuknya. Pengentasan kemiskinan perlu dana besar dengan pendekatan yang lebih khusus menyangkut rasa dan budayanya melalui program-program yang memungkinkan mereka berubah. Pemberdayaan orang-orang miskin akan efektif bila menjadikan mereka sebagai sumber utama dalam perencanaan dan dalam pilihan metodologi operasional yang partisipatif dan terbuka. Kemampuan melibatkan orang-orang miskin dalam membuat keputusan bersama merupakan langkah awal dalam menuju sukses bagi program pengentasan kemiskinan. Jika orang-orang miskin dijadikan obyek melalui BLSM yang tak seberapa sama saja dengan menenggelamkan mereka pada kondisi yang tidak manusiawi.
***

Penulis adalah sekretaris LSM Amprak Banten      
*********************************************************************** 
  Menatasi  menyangkut  sebagian kalangan ahli menyebutnya kemiskinan structural. Kelompok ini selalu tersisih dan tersungkur. Meskipun konstitusi negara ini menetapkan hak-hak setiap warganya untuk memperoleh kehidupan yang layak, namun luas dan tingginya permasalahan yang dihadapi, dan tidak meratanya distribusi kue pembangunan, maka kita bertanya-tanya mengapa kemiskinan seakan abadi dan semakin susah.
Dalam pada itu perubahan social berlangsung cepat, baik disebabkan karena kemajuan pembangunan maupun persentuhan budaya antar kota dan antar daerah.  Kita tidak dapat menutup mata akan derita yang dialami orang-orang miskin di tengah perubahan social yang berlangsung demikian fundamental. Runtuhnya system nilai yang melonggarkan ikatan social dan rasa persaudaraan, serta meredupnya keyakinan esensial dari agama yang menganjurkan untuk membagi kesejahteraan kepada orang-orang miskin. Kondisi ini mau tidak mau diiringi oleh ketidakpastian yang makin tumbuh; lepasnya arah pandang, menjalarnya rasa kecemasan dan ketakutan yang mendalam membuat masyarakat miskin semakin tertekan dan menderita.