Bila kita cermati secara kritis, bisa disimpulkan bahwa pilkada langsung yang secara filosofi digagas dan diterapkan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang kapabel, bersih, dan berwibawa untuk membawa kesejahteraan rakyat daerah ternyata hanya pepesan kosong. Kita bisa memahami kalau incumbent yang tidak berstatus tersangka kalah dalam pilkada lalu dinilai bahwa mereka belum bisa menghadirkan sesuatu yang diharapkan masyarakat pemillih. Namun, bagaimana logika kita bisa memahami ketika incumbent yang berstatsu tersangka bisa dipilih kembali oleh rakyat dan menang mudah dalam pilkada?
Kasus pilkada Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan menambah catatan kegagalan misi pemilihan langsung. Bagaimana seorang istri mantan bupati yang kini suaminya menjadi narapidana korupsi dan ditambah dengan ketetapan pengadilan bahwa sang suami dinyatakan pailit karena tidak bisa mengembalikan uang yang dikorupsi atau kerugian negara bisa memenangi pilkada dengan mudah?
Memang secara normatif di dalam UU Pilkada maupun UU yang mengatur kewenangan KPU tidak tertulis secara jelas bahwa orang yang menjadi tersangka korupsi atau keluarga koruptor dilarang maju menjadi calon kepala daerah. Status tersangka juga tidak menghalangi calon terpilih untuk dilantik. Itu terjadi karena asas hukum praduga tak bersalah yang dipakai dalam merumuskan UU Pilkada.
Hanya, yang perlu dipertanyakan, apa fungsi demokratisasi berupa pemilihan langsung kepala daerah kalau kemudian rakyat tidak bisa memilih pemimpin yang lebih baik? Dulu kita mengkritik model pengangkatan kepala daerah karena tidak demokratis dan tidak melibatkan rakyat. Hal tersebut dikritik karena dinilai tidak bisa memunculkan kader-kader bangsa yang lebih baik untuk menjadi pemimpin. Semua bergantung kepada kemauan petinggi-petinggi negeri ini. Atas dasar pemikiran seperti itu, lahirlah otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Namun, ketika kebebasan diberikan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri, hasil pemilihan langsung tersebut ternyata belum tentu lebih baik daripada pola pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat. Sebab, sistem pengangkatan langsung -walaupun ada KKN-nya- tidak banyak menguras modal para calon. Sedangkan biaya pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata jauh lebih mahal. Jika untuk bisa menang kandidat harus mengeluarkan banyak uang, apalagi dia sudah memiliki pengalaman korupsi dengan bukti statusnya sebagai tersangka, apakah tidak akan jauh lebih dahsyat untuk menguras keuangan daerah setelah dilantik. Oleh karena itu, kita perlu bertanya, lebih bahaya mana pilkada langsung dengan modal besar dan nanti menguras uang daerah jika dibandingkan dengan pola pengangkatan kepala daerah dengan biaya relatif sedikit bila dilihat dari sisi cita-cita menyejahterakan masyarakat?
Kasus pilkada Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, akan menambah catatan kegagalan misi pemilihan langsung. Bagaimana seorang istri mantan bupati yang kini suaminya menjadi narapidana korupsi dan ditambah dengan ketetapan pengadilan bahwa sang suami dinyatakan pailit karena tidak bisa mengembalikan uang yang dikorupsi atau kerugian negara bisa memenangi pilkada dengan mudah?
Memang secara normatif di dalam UU Pilkada maupun UU yang mengatur kewenangan KPU tidak tertulis secara jelas bahwa orang yang menjadi tersangka korupsi atau keluarga koruptor dilarang maju menjadi calon kepala daerah. Status tersangka juga tidak menghalangi calon terpilih untuk dilantik. Itu terjadi karena asas hukum praduga tak bersalah yang dipakai dalam merumuskan UU Pilkada.
Hanya, yang perlu dipertanyakan, apa fungsi demokratisasi berupa pemilihan langsung kepala daerah kalau kemudian rakyat tidak bisa memilih pemimpin yang lebih baik? Dulu kita mengkritik model pengangkatan kepala daerah karena tidak demokratis dan tidak melibatkan rakyat. Hal tersebut dikritik karena dinilai tidak bisa memunculkan kader-kader bangsa yang lebih baik untuk menjadi pemimpin. Semua bergantung kepada kemauan petinggi-petinggi negeri ini. Atas dasar pemikiran seperti itu, lahirlah otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Namun, ketika kebebasan diberikan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri, hasil pemilihan langsung tersebut ternyata belum tentu lebih baik daripada pola pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat. Sebab, sistem pengangkatan langsung -walaupun ada KKN-nya- tidak banyak menguras modal para calon. Sedangkan biaya pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata jauh lebih mahal. Jika untuk bisa menang kandidat harus mengeluarkan banyak uang, apalagi dia sudah memiliki pengalaman korupsi dengan bukti statusnya sebagai tersangka, apakah tidak akan jauh lebih dahsyat untuk menguras keuangan daerah setelah dilantik. Oleh karena itu, kita perlu bertanya, lebih bahaya mana pilkada langsung dengan modal besar dan nanti menguras uang daerah jika dibandingkan dengan pola pengangkatan kepala daerah dengan biaya relatif sedikit bila dilihat dari sisi cita-cita menyejahterakan masyarakat?
Demokrasi=Uang
Belajar dari pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini di semua daerah, tampaknya, demokrasi di Indonesia ini masih identik dengan uang. Demokrasi memang telah membuka keran kebebasan bagi siapa pun untuk maju menjadi pemimpin daerah. Namun, ruang kebebasan itu ternyata tidak murah. Perlu dana besar untuk bisa menikmati ruang kebebasan tersebut.
Semua orang di negeri ini bisa melihat dan merasakan -bahkan menjadi pelaku demokrasi itu sendiri- bahwa maju sebagai calon kepala daerah itu tidak cukup hanya bermodal kebaikan, integritas teruji, profesionalitas mumpuni, dan berpengalaman. Semua yang positif sebagai prasyarat menjadi pemimpin tersebut hilang ditelan bumi ketika (orang itu) tidak memiliki dana yang cukup besar untuk ikut pilkada.
Sebaliknya, walaupun prasyarat-prasyarat sebagai pemimpin tidak terpenuhi -asalkan memiliki banyak uang- (orang tersebut) tentu akan dipilih rakyat. Rakyat tidak lagi melihat status kandidat itu tersangka atau tidak. Bahkan, mantan narapidana korupsi pun -kalau diperbolehkan mencalonkan diri dan memiliki banyak uang- akan dipilih oleh rakyat.
‘’Kelemahan’’ orang-orang yang baik adalah tidak berani menggunakan segala cara untuk menang. Sedangkan ‘’kelebihan’’ orang jahat adalah berani menggunakan cara apa pun, yang penting menang. Keberanian menggunakan segala cara tersebut termasuk mencari modal untuk pilkada. Oleh karena itu, wajar kalau incumbent yang tidak berstatus tersangka kalah, sedangkan yang berstatus tersangka justru menang. Sebab, yang berstatus tersangka tidak takut mengambil uang dari mana pun untuk diberikan kepada rakyat.
Pada zaman demokrasi sama dengan uang, yang bisa memberikan uang berarti sang malaikat. Jangankan hanya disuruh memilih, disuruh menyembah pun, orang akan melakukan. Yang penting, dapat uang.
Sebaik apa pun sistem yang diterapkan, bila moralitas tercerabut, bencanalah yang akan terjadi. Oleh karena itu, pilkada langsung yang dianggap ideal pun gagal membawa misi perubahan dan perbaikan karena moralitas (manusia) hangus terbakar uang.)***
Belajar dari pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini di semua daerah, tampaknya, demokrasi di Indonesia ini masih identik dengan uang. Demokrasi memang telah membuka keran kebebasan bagi siapa pun untuk maju menjadi pemimpin daerah. Namun, ruang kebebasan itu ternyata tidak murah. Perlu dana besar untuk bisa menikmati ruang kebebasan tersebut.
Semua orang di negeri ini bisa melihat dan merasakan -bahkan menjadi pelaku demokrasi itu sendiri- bahwa maju sebagai calon kepala daerah itu tidak cukup hanya bermodal kebaikan, integritas teruji, profesionalitas mumpuni, dan berpengalaman. Semua yang positif sebagai prasyarat menjadi pemimpin tersebut hilang ditelan bumi ketika (orang itu) tidak memiliki dana yang cukup besar untuk ikut pilkada.
Sebaliknya, walaupun prasyarat-prasyarat sebagai pemimpin tidak terpenuhi -asalkan memiliki banyak uang- (orang tersebut) tentu akan dipilih rakyat. Rakyat tidak lagi melihat status kandidat itu tersangka atau tidak. Bahkan, mantan narapidana korupsi pun -kalau diperbolehkan mencalonkan diri dan memiliki banyak uang- akan dipilih oleh rakyat.
‘’Kelemahan’’ orang-orang yang baik adalah tidak berani menggunakan segala cara untuk menang. Sedangkan ‘’kelebihan’’ orang jahat adalah berani menggunakan cara apa pun, yang penting menang. Keberanian menggunakan segala cara tersebut termasuk mencari modal untuk pilkada. Oleh karena itu, wajar kalau incumbent yang tidak berstatus tersangka kalah, sedangkan yang berstatus tersangka justru menang. Sebab, yang berstatus tersangka tidak takut mengambil uang dari mana pun untuk diberikan kepada rakyat.
Pada zaman demokrasi sama dengan uang, yang bisa memberikan uang berarti sang malaikat. Jangankan hanya disuruh memilih, disuruh menyembah pun, orang akan melakukan. Yang penting, dapat uang.
Sebaik apa pun sistem yang diterapkan, bila moralitas tercerabut, bencanalah yang akan terjadi. Oleh karena itu, pilkada langsung yang dianggap ideal pun gagal membawa misi perubahan dan perbaikan karena moralitas (manusia) hangus terbakar uang.)***